Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah serangan yg dilaksanakan pada tanggal terjemahan - Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah serangan yg dilaksanakan pada tanggal Inggris Bagaimana mengatakan

Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah se

Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah serangan yg dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yg direncanakan & dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada & cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dlm perundingan yg sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan maksud utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia [TNI] masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta. Kurang lebih satu bulan sesudah Agresi Militer Belanda II yg dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yg dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yg menghubungkan kota-kota yg telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yg kini merupaken medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yg sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda. Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung-yg sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial & ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II & III-bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB & penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut & melancarkan propaganda yg menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yg harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.

Hutagalung yg membentuk jaringan di wilayah Divisi II & III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, & menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto & Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yg saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September & Oktober 1949, Hutagalung & keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di [dahulu] Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.

Pemikiran yg dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat & Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan [Pemerintah Darurat Republik Indonesia -PDRI], ada organisasi TNI & ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yg tak bisa disembunyikan oleh Belanda, & harus diketahui oleh UNCI [United Nations Commission for Indonesia] & wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI & para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yg bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut & menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II & III.

Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yg diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dlm rapat Pimpinan Tertinggi Militer & Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yg dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yg terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, & Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, & pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking & Bupati Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yg pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yg telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman.Tujuan utama dari ini rencana ialah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI & dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yg berseragam TNI. Setelah dilakukan pembahasan yg mendalam, grand design yg diajukan oleh Hutagalung disetujui, & khusus mengenai “serangan spektakuler” terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yg harus diserang secara spektakuler ialah Yogyakarta.Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dlm menyerang pertahanan tentara Belanda. Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen & Bupati, selalu diikutsertakan dlm rapat & pengambilan keputusan yg penting & kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.

Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yg perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi & tegap, yg lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis & akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dlm kota, & pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yg berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yg juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yg sesuai dengan kriteria yg telah ditentukan, terutama yg fasih berbahasa Belanda & Inggris.

Hal penting yg kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T. B. Simatupang yg bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI [AURI] di Playen, dekat Wonosari, agar sesudah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.

Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yg kuat seperti Magelang, Semarang & Solo. Jarak tempuh [waktu itu] Magelang-Yogya hanya sekitar 3-4 jam saja; Solo-Yogya, sekitar 4-5 jam, & Semarang-Yogya, sekitar 6-7 jam. Magelang & Semarang [bagian Barat] berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II & III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dlm kurun waktu yg ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tak dapat diperlambat.

Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi & Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan & pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dlm penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dlm menyiapkan & memasok perbekalan [makanan & minuman] bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur & ditetapkan oleh pemerintah militer setempat. Untuk pertolongan & perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total-sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1-yg dikeluarkan oleh Staf Operatif [Stop] tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat & P. M. I. karena itu evakuasi para dokter & rumah obat mesti menjadi perhatian.

Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yg juga ialah Ketua PMI [Palang Merah Indonesia], mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter & staf PMI kemudian banyak yg ditangkap oleh Belanda & ada juga yg mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II & para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman & Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
0/5000
Dari: -
Ke: -
Hasil (Inggris) 1: [Salinan]
Disalin!
Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah serangan yg dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yg direncanakan & dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI masih ada & cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dlm perundingan yg sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan maksud utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia [TNI] masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta. Kurang lebih satu bulan sesudah Agresi Militer Belanda II yg dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yg dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.Netherlands had to multiply outposts along the major roads linking the cities of yg yg've occupied. This means the power of the Netherlands troops scattered in small outposts throughout the regions of the Republic wrote guerrilla field merupaken now. In this yg Netherlands Army form terpencar-pencar already, start the TNI did the attack on the Netherlands. Around the beginning of February 1948 on the border of East Java, Lieutenant Colonel. Dr. Wiliater Hutagalung-yg since September 1948 was appointed Territorial Officers & assigned to form a network setup in areas of guerrilla Division II & III-met with the Commander of the Sudirman in order to report on UN Security Council resolution & the Netherlands against rejection resolution & launch propaganda yg stated that the Republic of Indonesia is already no more. Through the Radio of the jungle Kingdom, Commander of the Sudirman also had heard the news. The Commander of the Sudirman instructed to think about measures to be taken in order to reply to counter the propaganda of the Netherlands.HUTAGALUNG reply form a network in the region of Division II & III, can keep up with all the great Commander Sudirman, & became a liaison between the Commander of Sudirman with the Commander of Division II, Colonel Gatot Subroto & Commander of Division III, Kol. Bambang Sugeng. In addition, as a lung specialist, every opportunity, he also took care of the great Commander Sudirman wrote that time suffering from lung disease. After coming down the mountain, in September & October 1949, Hutagalung & family living in the Pavilion houses the Commander of Sudirman at the [first] JL. Widoro No. 10, Yogyakarta.Yg thought developed by Hutagalung is, need to convince the international world mainly United States & United Kingdom, that the State of the Republic of Indonesia is still strong, there are Government [the Government of the Republic of Indonesia-Emergency PDRI], there is the Organization of INDONESIAN & there is his army. To prove this, then to penetrate the insulation, it should be spectacular attacks was held, could not be concealed by the Netherlands, & should be known by the UNCI [United Nations Commission for Indonesia] & foreign journalists to be disseminated to the rest of the world. To convey to foreign journalists & UNCI that Republic of Indonesia there is still required for youth-youth uniformed Indonesia national army, can speak French or Netherlands, United Kingdom. The Commander of the idea & approve Sudirman instructed Hutagalung in order to coordinate the implementation of the idea with the Commander of the Division II & III.Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yg diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dlm rapat Pimpinan Tertinggi Militer & Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yg dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yg terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, & Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, & pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking & Bupati Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yg pada waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yg telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman.Tujuan utama dari ini rencana ialah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI & dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yg berseragam TNI. Setelah dilakukan pembahasan yg mendalam, grand design yg diajukan oleh Hutagalung disetujui, & khusus mengenai “serangan spektakuler” terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yg harus diserang secara spektakuler ialah Yogyakarta.Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dlm menyerang pertahanan tentara Belanda. Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen & Bupati, selalu diikutsertakan dlm rapat & pengambilan keputusan yg penting & kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yg perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi & tegap, yg lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis & akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dlm kota, & pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yg berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yg juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yg sesuai dengan kriteria yg telah ditentukan, terutama yg fasih berbahasa Belanda & Inggris.Hal penting yg kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T. B. Simatupang yg bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI [AURI] di Playen, dekat Wonosari, agar sesudah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yg kuat seperti Magelang, Semarang & Solo. Jarak tempuh [waktu itu] Magelang-Yogya hanya sekitar 3-4 jam saja; Solo-Yogya, sekitar 4-5 jam, & Semarang-Yogya, sekitar 6-7 jam. Magelang & Semarang [bagian Barat] berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II & III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dlm kurun waktu yg ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tak dapat diperlambat.Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi & Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan & pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dlm penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dlm menyiapkan & memasok perbekalan [makanan & minuman] bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur & ditetapkan oleh pemerintah militer setempat. Untuk pertolongan & perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total-sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1-yg dikeluarkan oleh Staf Operatif [Stop] tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat & P. M. I. karena itu evakuasi para dokter & rumah obat mesti menjadi perhatian.
Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yg juga ialah Ketua PMI [Palang Merah Indonesia], mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter & staf PMI kemudian banyak yg ditangkap oleh Belanda & ada juga yg mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II & para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman & Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
Hasil (Inggris) 2:[Salinan]
Disalin!
General Offensive March 1, 1949 was an attack that was held on March 1, 1949 against the city of Yogyakarta on a large scale which was planned and prepared by the highest ranks of the military in the Division III / GM III by including several helm of local administration based on instructions from the Commander in Chief Sudirman , to prove to the world that the military is still there and is strong enough, and thus can strengthen Indonesia's position Dlm negotiations that are taking place in the UN Security Council with the primary intent to break the morale of the troops Dutch and prove to the world that the Indonesian Armed Forces [TNI] still has the power to fight. Soeharto at that time as commander of the brigade X / Wehrkreis III participated as field operators in the Yogyakarta area. Approximately one month after the Dutch Military Aggression II which was launched in December 1948, the military began to strategize in order to perform a backlash against the Dutch soldiers who begins with deciding the phone, damaging the railroad, attacked the convoy of the Netherlands, as well as other acts of sabotage. The Netherlands was forced to multiply checkpoints along the major roads connecting the cities that have been occupied. This means that the strength of the Dutch troops scattered in small outposts throughout the regions of the republic which is now merupaken guerrilla terrain. In the circumstances the Dutch troops who have been scattered, the military began an offensive against the Netherlands. Around the beginning of February 1948 on the border of East Java, Lieutenant Colonel. dr. Wiliater Hutagalung-who since September 1948 was appointed as officer Territories and assigned to form a network of Preparation guerrilla in the Division II & III-met with Commander Sudirman in order to report on the UN Security Council resolutions and refusal of the Netherlands against the resolution and launched a propaganda stated that the Republic Indonesia is no more. Through Radio Rimba Raya, Panglima Sudirman also had heard the news. Panglima Sudirman instructed to think about the steps that must be taken in order to counter the propaganda of the Netherlands. Hutagalung which form a network in the Division II and III, can always be in touch with the Commander in Chief Sudirman, and be a liaison between the Panglima Sudirman with the Commander of the Second Division, Colonel Gatot Subroto and Commander of Division III, Colonel. Bambang Sugeng. In addition, as a lung specialist, at every opportunity, he also took care of Panglima Sudirman who was suffering from lung disease. Once down the mountain, in September and October 1949, Hutagalung & family living in the house pavilion Panglima Sudirman in the [first] Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta. Thought that was developed by Hutagalung is necessary to convince the international community, especially the US and the UK, that the Republic of Indonesia is still strong, no government [Emergency Government of the Republic of Indonesia -PDRI], there is a military organization and no army. To prove it, then to penetrate the insulation, must be held a spectacular attack, which can not be hidden by the Netherlands, and should be known by UNCI [United Nations Commission for Indonesia] and foreign journalists to be disseminated throughout the world. To convey to UNCI and foreign journalists that the Republic of Indonesia is still there, it takes the youth uniformed Indonesian National Army, who can speak English, Dutch or French. Panglima Sudirman approve the idea and instructed Hutagalung order to coordinate the implementation of the idea with the Commander of Division II and III. Col. dr. Hutagalung still stay a few days to help take care of Panglima Sudirman, before returning to his headquarters in Sumbing. According to the task given by the Commander in Chief Sudirman, Dlm Top Leaders' meeting in Military and Civilian Military Governor region III, which was held on February 18, 1949 at the headquarters of which is located on the slopes of Mount chipped. In addition to the Military Governor / Division Commander Col. III. Bambang Sugeng, and Lt. Col. Wiliater Hutagalung, also present Wehrkreis II commander, Lieutenant Colonel. Sarbini Martodiharjo, & helm of the civil administration, the Civil Governor, Mr. KRMT Wongsonegoro, Resident Banyumas R. Budiono, Resident Kedu Salamun, Banjarnegara Regent and Regent RA Sumitro Kolopaking Sangidi. Lt. Col. Wiliater Hutagalung who at that time as well as Military Governor adviser III convey the idea that has been approved by the commander of the main Sudirman.Tujuan of this plan is how to show the existence of the military and thus also demonstrate the existence of the Republic of Indonesia to the international world. To demonstrate the existence of the military, members UNCI, foreign journalists and observers military officers must see that uniformed military. After in-depth discussions which, the grand design that proposed by Hutagalung approved, and specifically about "spectacular attacks" against the big city, the Commander of Division III / GM III Col. Bambang Sugeng insisted that that must be attacked spectacular is Yogyakarta.Selain since issued Strategic Order dated January 1, 1949 of Commander of Division III / III Military Governor, to always conduct attacks against Dutch troops, have launched several attacks common in the area Division III / GM III. The entire Division III can be said to have been trained Dlm Dutch army attack defense. In addition, since the start of a guerrilla war, civilian government leaders from the start Wongsonegoro and the Resident Governor and Regent, always included Dlm meetings and decision-making that important and very good cooperation so far. Therefore, it is certain, especially for logistical support of the entire population. Further discussed, which the parties as well as anyone who needs to be involved. For such a scenario referred to above, will look for some of the tall and well-built young man, who is fluent in Dutch, English or French and will be equipped with a uniform military officers ranging from shoes to hats. They had to be ready within the city, and at the time of the attack has begun, they must go to Hotel Merdeka in order to show himself to the members UNCI and foreign journalists who were in the hotel. Colonel Wiyono, Acting Head of Pepolit Ministry of Defence who also were in Sumbing will be assigned to look for young men who fit the criteria that have been determined, especially who are fluent in Dutch and English. It is important that the second is, the international community must be aware of the attack Army National Indonesia against Dutch soldiers, mainly to Yogyakarta, capital of the Republic. In spreading this news to the world of international then assisted by Col. TB Simatupang which is headquartered in Pedukuhan Banaran, village Banjarsari, to contact a radio transmitter Air Force RI [Air Force] in Playen, near Wonosari, so that after the attack launched by the news of a major offensive by the military on Yogyakarta immediate release. In his capacity as Deputy Chief of Staff Armed Forces, TB Simatupang more competent convey it to the Air Force rather than Army officer. It is estimated that if the Netherlands saw that Yogyakarta was attacked on a large scale, they will certainly bring in help from other cities in Central Java, where the Dutch troops who are strong like Magelang, Semarang and Solo. Mileage [time] Magelang-Yogya only about 3-4 hours; Solo-Yogya, about 4-5 hours, and Semarang-Yogyakarta, about 6-7 hours. Magelang and Semarang [the West] are in the jurisdiction of the Third Division GM III, but Solo, under the authority of the Commander of the Division II / GM II Colonel Gatot Subroto. Therefore, the attack in the Division II and III should be well coordinated so it can be carried out joint military operations within a period specified, so that the Dutch aid of Solo can be inhibited, or at least can not be slowed. Leaders civil administration, Governor Wongsonegoro, Resident Budiono Resident Salamun, Regent and Regent Sumitro Sangidi Kolopaking assigned to coordinate the preparation and supply of provisions in their respective territories. At the time of the guerrilla fighters often must always be moved, so it depends on the people of MLP providing relief supplies. During the guerrilla war, even sub-district, village chief and village chief was instrumental Dlm preparing and supplying provisions [food and beverage] for the guerrillas. It's all been arranged and fixed by the local military government. To aid and medical care, submitted to PMI. PMI's own role has also been prepared since the draft Strategic Order Commander. In the concept of Total Defence of the People-to complement the Strategic Order No. 1-which is issued by staff Operative [Stop] dated June 3, 1948, clause 8 states: Health especially dependent on Public Health and the PMI for the evacuation of doctors and home remedies should be of concern. Sutarjo Kartohadikusumo, Chairman of DPA who also is chairman of PMI [ Indonesian Red Cross], arranging the delivery of drugs to the rebels in front. Some doctors and staff PMI later many were captured by the Netherlands and there are also who was shot dead while on duty. After the meeting, Commander Wehrkreise II and civilian officials to return to their respective places in order to prepare everything, according to their respective duties. Courier immediately sent to convey the decision of the meeting in Sumbing on February 18, 1949 for Panglima Sudirman and Commander of Division II / II Military Governor Colonel Gatot Subroto.

















Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
 
Bahasa lainnya
Dukungan alat penerjemahan: Afrikans, Albania, Amhara, Arab, Armenia, Azerbaijan, Bahasa Indonesia, Basque, Belanda, Belarussia, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Burma, Cebuano, Ceko, Chichewa, China, Cina Tradisional, Denmark, Deteksi bahasa, Esperanto, Estonia, Farsi, Finlandia, Frisia, Gaelig, Gaelik Skotlandia, Galisia, Georgia, Gujarati, Hausa, Hawaii, Hindi, Hmong, Ibrani, Igbo, Inggris, Islan, Italia, Jawa, Jepang, Jerman, Kannada, Katala, Kazak, Khmer, Kinyarwanda, Kirghiz, Klingon, Korea, Korsika, Kreol Haiti, Kroat, Kurdi, Laos, Latin, Latvia, Lituania, Luksemburg, Magyar, Makedonia, Malagasi, Malayalam, Malta, Maori, Marathi, Melayu, Mongol, Nepal, Norsk, Odia (Oriya), Pashto, Polandia, Portugis, Prancis, Punjabi, Rumania, Rusia, Samoa, Serb, Sesotho, Shona, Sindhi, Sinhala, Slovakia, Slovenia, Somali, Spanyol, Sunda, Swahili, Swensk, Tagalog, Tajik, Tamil, Tatar, Telugu, Thai, Turki, Turkmen, Ukraina, Urdu, Uyghur, Uzbek, Vietnam, Wales, Xhosa, Yiddi, Yoruba, Yunani, Zulu, Bahasa terjemahan.

Copyright ©2025 I Love Translation. All reserved.

E-mail: