Menyambut Kongres Nasional Partai Demokrat yang akan berlangsung 11-13 terjemahan - Menyambut Kongres Nasional Partai Demokrat yang akan berlangsung 11-13 Inggris Bagaimana mengatakan

Menyambut Kongres Nasional Partai D

Menyambut Kongres Nasional Partai Demokrat yang akan berlangsung 11-13 Mei 2015 di Surabaya

DEMOKRAT DI ANTARA OPOSISI ATAU NETRAL

Oleh: M. AMINUDIN (Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)/ alumnus ilmu Politik FISIP UNAIR) ------------

Kongres Nasional Partai Demokrat yang akan berlangsung 11-13 Mei 2015 di Surabaya menarik untuk diamati karena partai ini secara formal telah menyatakan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang di antara persaingan Koalisi Merah Putih (KMP) yang berada di luar kekuasaan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang sedang berkuasa. Itu artinya walaupun hasil PEMILU terakhir PARTAI DEMOKRAT “hanya” menempatkan pada peringkat keempat dalam PEMILU 2014 tetapi posisinya cukup menentukan konsetelasi perimbangan politik di parlemen. Secara demikian hasil keputusan Kongres Partai Demokrat di Surabaya akan ikut menentukan konfigurasi kekuatan nasional dalam lima tahun ke depan apakah akan memperkuat pemerintahan atau mempertegas di barisan Oposisi?.
Tetapi kalau dilihat dari sejarah awal pendirian Partai Demokrat nampaknya partai ini sulit terlepas dari sosok figure Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi seandainya Partai ini tidak mengalami intervensi dari suprastruktur seperti dialami GOLKAR dan PPP sebenarnya Partai Demokrat diperkirakan tak akan terjadi perubahan haluan kepemimpinan ke depan. Artinya baik secara langsung atau tidak langsung Partai ini tetap dalam bayangan garis politik SBY. Dalam kenyataannya partai ini memang muncul dan tumbuh besar harus diakui karena The SBY Faktor bukan karena basis politik ideologi dan aliran. Ini yang membedakan Partai Demokrat dengan semua parpol yang masuk 5 besar parpol (The Big five) di Indonesia pasca reformasi dari PEMILU 1999 hingga 2014 dimana 4 partai yang lain seperti PDIP, Golkar, PAN, PKS, PKB basis massa pemilih banyak berakar pada politik aliran Indonesia yang telah muncul pasca kemerdekaan seperti peta pembilahan politik aliran hasil studi pengamat Indonesia dari Australia dalam bukunya berjudul Indonesia political thinking: 1945-1965 (Ed. by Herbert Feith and Lance Castles, Cornell University Press Ithaca USA: 1970). Secara umum memang partai besar Indonesia dari tahun 1955 hingga saat masih banyak bertumpu pada dukungan aliran politik Indonesia seperti PDIP yang berakar pada aliran nasioalisme populis dan GOLKAR kalangan Priyayi, sementara PAN, PPP, PKS, PKB banyak dipilih oleh pendukungnya lebih karena ikatan loyalitas kultural karena dianggap representasi partai Muslim. Dalam kasus menguatnya pilihan Partai DEMOKRAT dan GERINDRA, pembilahan politik aliran itu hampir tak berlaku, karena massa pemilihnya sangat cair berbagai aliran sangat pragmatis, hampir semuanya tersedot magnit kekuatan figure pemimpin dan pengaruh pencitraan pesan komunikasi hasil polesan konsultan politik.
Dalam kasus Partai Demokrat memang cukup fenomenal dari mulai muncul sebagai partai baru pada PEMILU 2004 langsung meraih lebih dari 7% suara dan langsung berhasil mengantarkan pendiri utamanya menjadi Presiden selama dua periode dan melejit partai terbesar di peringkat pertama PEMILU 2009 yang mencapai 21 % Suara.
Faktor penting yang bisa mengantarkan partai Demokrat langsung menduduki peringkat paling atas dalam tangga politik PEMILU waktu itu adalah performance kepemimpinan dan kepuasan terhadap kebijakan pemerintah SBY yang diikuti pencitraan media yang jitu termasuk isu anti korupsi.
Tetapi pada periode jabatan kedua SBY 2009-2014 tingkat kepuasan pada pemerintahan SBY menyusut tajam akibat kebijakan yang tidak popular kenaikan harga BBM, Elpiji, dsb dan juga makin banyak kadernya terjerat kasus korupsi. Sebagai implikasi deficit performance pemerintahan SBY itu perolehan suara partainya merosot sekitar 50% pada PEMILU 2014 dibandingkan PEMILU 2009.
Dengan latar belakang kebangkitan dan kejatuhan Partai Demokrat itu apakah hasil Kongres Demokrat di Surabaya pertengahan tahun 2015 bisa menjadi pintu masuk mengembalikan kejayaan partai Demokrat kembali di masa depan? Jawabnya bisa ya bisa tidak. Peluang kebangkitan Partai Demokrat sebenarnya masih terbuka kalau melihat sentimen politik yang berkembang di masyarakat saat ini yang memulai membandingkan pemerintahan SBY dan Jokowi. Mayoritas di mata public menganggap manajemen pemerintahan SBY masih dianggap lebih efektif dimana arah kebijakan Presiden semuanya bisa dikatakan diikuti oleh para aparatur pemerintahan termasuk kepolisian dan TNI. Tetapi dalam kasus pemerintahan Jokowi banyak kesan public yang muncul seringnya terjadi insubordinasi (ketidaktaatan) kalangan birokrasi dan kepolisian terhadap arahan Presiden terutama dalam kasus KPK VS Kepolisian.
Kinerja ekonomi Pemerintahan Jokowi-JK di mata rakyat juga semakin menyusut seperti ditujukkan semua survey diantaranya LSI, Indobarometer juga makin menyusut akibat semakin meningkatkan ketidakpastian ekonomi masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan pertama pemerintah Jokowi merosot menjadi sekitar 4% dibandingkan akhir pemerintah SBY sekitar 6%. Kemerosotan pertumbuhan ini terlihat makin menggerus sector riil; Properti, otomotif merosot 50%-20%, Inflasi ekonomi di kisaran 10% akibat melonjaknya harga dan tarif di sector energy seperti BBM, Elpiji, Listrik. Nialai tukar rupiah pada dollar cenderung merosot, selama awal pemerintahan Jokowi saja BI sudah menguras cadangan devisa sekitar USD 4 Milyar untuk upaya mempertahankan nilai tukar rupiah tidak naik naik di atas Rp 13.000/ perdollar.
Dengan gambaran kemerosotan itu seharusnya Partai Democrat berpeluang mengembalikan kejayaan elektoralnya ke depan. Tetapi kenyataanya revivalisme partai Demokrat masih harus melalui jalan yang terjal dan berliku, apa sebab? Karena factor “krisis” figure kepemimpinan Partai yang marketable ke rakyat. Harus diakui Partai Demokrat sampai memasuki Kongresnya di Surabaya masih mengalami “krisis” figure yang layak jual dalam PILPRES 2019. Edi Baskoro yang nampaknya diproyeksikan SBY jadi putera Mahkotanya nampak terkesan masih “terlalu hijau” yang hanya bisa eksis karena factor nama besar ayahnya. Sementara tunas-tunas calon pemimpin Partai Demokrat yang semula sudah memiliki branding di public hampir semuanya sudah layu sebelum berkembang karena tersandung masalah hukum seperti Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum. SBY sendiri sudah pasti tak mungkin maju sebagai Presiden lagi.
Di tengah “krisis figure” kandidat pemimpin dari Partai Demokrat, konstelasi media makin kurang kondusif bagi bangkitnya kejayaan Partai Demokrat lagi. Suka atau tidak suka, eksistensi partai non aliran seperti Demokrat pasang-surutnya sangat tergantung pada citra yang dibentuk media termasuk di dalamnya TV. Jika 5 atau 10 tahun lalu mayoritas pemilik media TV tidak terlibat secara langsung dalam politik partisan. Tetapi saat ini konfigurasi kepemilikan media terutama media banyak mengalami perubahan. Para pemilik TV Besar mulai ramai-ramai mendirikan parpol atau menjadi pimpinan PARPOL. SURYA PALOH (Metro TV/ Media Indonesia) menjadi pemimpin NASDEM, Hari Tanoe (MNC Group/ RCTI/ Global TV/ SINDO) mendirikan PERINDO, Aburizal Bakrie menjadi Pimpinan Partai GOLKAR. Sudah pasti TV atau media mereka akan semaksimal mungkin menjadi corong PARPOL pemiliknya masing-masing. Sementara Partai DEMOKRAT sampai sekarang tak satupun punya media besar sebagi corongnya. Oleh karena kebutuhan itu, Kongres partai Demokrat di Surabaya kali ini mau tidak mau harus mencari jalan keluar bagaimana memiliki media besar sebagai instrument corong politik.
Tetapi jika jalan keluar tak maksimal bisa diketemukan formulasinya, Partai Demokrat secara bertahap perlu mempertimbangkan untuk mempertegas posisinya sebagai oposan. Selama ini posisi Demokrat yang mengikuti gaya politik SBY yang sekedar mencari selamat. Walaupun cari selamat tetap penting di tengah gencarnya upaya intervensi penguasa ke partai-partai saat ini melalui permainan SK MENKUMHAM namun tak bisa dipertahankan jangka panjang karena akan merugikan Partai Demokrat. Dengan mengambil posisi “abu-abu” semacam maka rakyat yang sebagian besar awam akan sulit membedakan Partai Demokrat dengan Partai Penguasa, sehingga kalau ada ketidakpuasan atau kegagalan pemerintah Partai Demokrat bisa kena getahnya. Tetapi dengan mempertegas sebagai “partai oposisi” dia akan bisa bertindak sebagai penyambung suara rakyat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi-Jk. Minimal Partai Demokrat dianggap memiliki emphati atau kesejajaran perasaan dengan rakyat yang merasa tak diuntungkan kebijakan pemerintah. Partai Demokrat perlu mengaca pada sukses PDIP yang konsisten menjadi “partai oposisi” selama SBY menjadi Presiden. Selama menjadi “oposisi” itu PDIP efektif menjadi penentang utama Pemerintah SBY di parlemen dari mulai penentangan kenaikan BBM dan skandal Bank Century. Konsistennya selama 10 tahun menjadi oposisi ternyata membuahkan hasil, suara PDIP kembali naik ke peringkat pertama pada PEMILU 2014 yang PEMILU sebelumnya merosot ke peringkat kedua.
Posisi sebagai Oposisi dalam kadar tertentu memang membantu memperluas aksesnya ke media. Bagaimanapun media dalam batas tertentu bila ingin menarik pemirsa atau pembaca akan mempertimbangkan aspek hotnews suatu berita. Kalau kejadiannnya tak istimewa atau biasa-biasa sukar suatu kejadian atau materi informasi masuk menjadi laporan penting suatu media. Konsumen berita biasanya memang tak begitu tertarik pada media yang seolah hanya menjadi “bulletin pemerintah”. Dalam situasi kebijakan pemerintah yang banyak menimbulkan ketidakpuasan masyarakat seperti sekarang ini sikap-sikap oposisi semakin sexy atau marketable di kalangan rakyat yang menjadi Pemilih Pemilu. Semua terpulang pada Partai Demokrat lagi apakah tetap di wilayah abu-abu dengan resiko makin meredup di arena politik Indonesia atau Mempertegas Oposisi untuk investasi dukungan rakyat yang menjadi Pemilihnya dalam PEMILU ke depan.

0/5000
Dari: -
Ke: -
Hasil (Inggris) 1: [Salinan]
Disalin!
Menyambut Kongres Nasional Partai Demokrat yang akan berlangsung 11-13 Mei 2015 di SurabayaDEMOKRAT DI ANTARA OPOSISI ATAU NETRALOleh: M. AMINUDIN (Direktur Institute for Strategic and Development Studies (ISDS)/ alumnus ilmu Politik FISIP UNAIR) ------------Kongres Nasional Partai Demokrat yang akan berlangsung 11-13 Mei 2015 di Surabaya menarik untuk diamati karena partai ini secara formal telah menyatakan dirinya sebagai kekuatan penyeimbang di antara persaingan Koalisi Merah Putih (KMP) yang berada di luar kekuasaan dengan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang sedang berkuasa. Itu artinya walaupun hasil PEMILU terakhir PARTAI DEMOKRAT “hanya” menempatkan pada peringkat keempat dalam PEMILU 2014 tetapi posisinya cukup menentukan konsetelasi perimbangan politik di parlemen. Secara demikian hasil keputusan Kongres Partai Demokrat di Surabaya akan ikut menentukan konfigurasi kekuatan nasional dalam lima tahun ke depan apakah akan memperkuat pemerintahan atau mempertegas di barisan Oposisi?. Tetapi kalau dilihat dari sejarah awal pendirian Partai Demokrat nampaknya partai ini sulit terlepas dari sosok figure Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) jadi seandainya Partai ini tidak mengalami intervensi dari suprastruktur seperti dialami GOLKAR dan PPP sebenarnya Partai Demokrat diperkirakan tak akan terjadi perubahan haluan kepemimpinan ke depan. Artinya baik secara langsung atau tidak langsung Partai ini tetap dalam bayangan garis politik SBY. Dalam kenyataannya partai ini memang muncul dan tumbuh besar harus diakui karena The SBY Faktor bukan karena basis politik ideologi dan aliran. Ini yang membedakan Partai Demokrat dengan semua parpol yang masuk 5 besar parpol (The Big five) di Indonesia pasca reformasi dari PEMILU 1999 hingga 2014 dimana 4 partai yang lain seperti PDIP, Golkar, PAN, PKS, PKB basis massa pemilih banyak berakar pada politik aliran Indonesia yang telah muncul pasca kemerdekaan seperti peta pembilahan politik aliran hasil studi pengamat Indonesia dari Australia dalam bukunya berjudul Indonesia political thinking: 1945-1965 (Ed. by Herbert Feith and Lance Castles, Cornell University Press Ithaca USA: 1970). Secara umum memang partai besar Indonesia dari tahun 1955 hingga saat masih banyak bertumpu pada dukungan aliran politik Indonesia seperti PDIP yang berakar pada aliran nasioalisme populis dan GOLKAR kalangan Priyayi, sementara PAN, PPP, PKS, PKB banyak dipilih oleh pendukungnya lebih karena ikatan loyalitas kultural karena dianggap representasi partai Muslim. Dalam kasus menguatnya pilihan Partai DEMOKRAT dan GERINDRA, pembilahan politik aliran itu hampir tak berlaku, karena massa pemilihnya sangat cair berbagai aliran sangat pragmatis, hampir semuanya tersedot magnit kekuatan figure pemimpin dan pengaruh pencitraan pesan komunikasi hasil polesan konsultan politik. Dalam kasus Partai Demokrat memang cukup fenomenal dari mulai muncul sebagai partai baru pada PEMILU 2004 langsung meraih lebih dari 7% suara dan langsung berhasil mengantarkan pendiri utamanya menjadi Presiden selama dua periode dan melejit partai terbesar di peringkat pertama PEMILU 2009 yang mencapai 21 % Suara. Faktor penting yang bisa mengantarkan partai Demokrat langsung menduduki peringkat paling atas dalam tangga politik PEMILU waktu itu adalah performance kepemimpinan dan kepuasan terhadap kebijakan pemerintah SBY yang diikuti pencitraan media yang jitu termasuk isu anti korupsi. Tetapi pada periode jabatan kedua SBY 2009-2014 tingkat kepuasan pada pemerintahan SBY menyusut tajam akibat kebijakan yang tidak popular kenaikan harga BBM, Elpiji, dsb dan juga makin banyak kadernya terjerat kasus korupsi. Sebagai implikasi deficit performance pemerintahan SBY itu perolehan suara partainya merosot sekitar 50% pada PEMILU 2014 dibandingkan PEMILU 2009. Dengan latar belakang kebangkitan dan kejatuhan Partai Demokrat itu apakah hasil Kongres Demokrat di Surabaya pertengahan tahun 2015 bisa menjadi pintu masuk mengembalikan kejayaan partai Demokrat kembali di masa depan? Jawabnya bisa ya bisa tidak. Peluang kebangkitan Partai Demokrat sebenarnya masih terbuka kalau melihat sentimen politik yang berkembang di masyarakat saat ini yang memulai membandingkan pemerintahan SBY dan Jokowi. Mayoritas di mata public menganggap manajemen pemerintahan SBY masih dianggap lebih efektif dimana arah kebijakan Presiden semuanya bisa dikatakan diikuti oleh para aparatur pemerintahan termasuk kepolisian dan TNI. Tetapi dalam kasus pemerintahan Jokowi banyak kesan public yang muncul seringnya terjadi insubordinasi (ketidaktaatan) kalangan birokrasi dan kepolisian terhadap arahan Presiden terutama dalam kasus KPK VS Kepolisian. Kinerja ekonomi Pemerintahan Jokowi-JK di mata rakyat juga semakin menyusut seperti ditujukkan semua survey diantaranya LSI, Indobarometer juga makin menyusut akibat semakin meningkatkan ketidakpastian ekonomi masyarakat sehingga pertumbuhan ekonomi nasional di triwulan pertama pemerintah Jokowi merosot menjadi sekitar 4% dibandingkan akhir pemerintah SBY sekitar 6%. Kemerosotan pertumbuhan ini terlihat makin menggerus sector riil; Properti, otomotif merosot 50%-20%, Inflasi ekonomi di kisaran 10% akibat melonjaknya harga dan tarif di sector energy seperti BBM, Elpiji, Listrik. Nialai tukar rupiah pada dollar cenderung merosot, selama awal pemerintahan Jokowi saja BI sudah menguras cadangan devisa sekitar USD 4 Milyar untuk upaya mempertahankan nilai tukar rupiah tidak naik naik di atas Rp 13.000/ perdollar.
Dengan gambaran kemerosotan itu seharusnya Partai Democrat berpeluang mengembalikan kejayaan elektoralnya ke depan. Tetapi kenyataanya revivalisme partai Demokrat masih harus melalui jalan yang terjal dan berliku, apa sebab? Karena factor “krisis” figure kepemimpinan Partai yang marketable ke rakyat. Harus diakui Partai Demokrat sampai memasuki Kongresnya di Surabaya masih mengalami “krisis” figure yang layak jual dalam PILPRES 2019. Edi Baskoro yang nampaknya diproyeksikan SBY jadi putera Mahkotanya nampak terkesan masih “terlalu hijau” yang hanya bisa eksis karena factor nama besar ayahnya. Sementara tunas-tunas calon pemimpin Partai Demokrat yang semula sudah memiliki branding di public hampir semuanya sudah layu sebelum berkembang karena tersandung masalah hukum seperti Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh dan Anas Urbaningrum. SBY sendiri sudah pasti tak mungkin maju sebagai Presiden lagi.
Di tengah “krisis figure” kandidat pemimpin dari Partai Demokrat, konstelasi media makin kurang kondusif bagi bangkitnya kejayaan Partai Demokrat lagi. Suka atau tidak suka, eksistensi partai non aliran seperti Demokrat pasang-surutnya sangat tergantung pada citra yang dibentuk media termasuk di dalamnya TV. Jika 5 atau 10 tahun lalu mayoritas pemilik media TV tidak terlibat secara langsung dalam politik partisan. Tetapi saat ini konfigurasi kepemilikan media terutama media banyak mengalami perubahan. Para pemilik TV Besar mulai ramai-ramai mendirikan parpol atau menjadi pimpinan PARPOL. SURYA PALOH (Metro TV/ Media Indonesia) menjadi pemimpin NASDEM, Hari Tanoe (MNC Group/ RCTI/ Global TV/ SINDO) mendirikan PERINDO, Aburizal Bakrie menjadi Pimpinan Partai GOLKAR. Sudah pasti TV atau media mereka akan semaksimal mungkin menjadi corong PARPOL pemiliknya masing-masing. Sementara Partai DEMOKRAT sampai sekarang tak satupun punya media besar sebagi corongnya. Oleh karena kebutuhan itu, Kongres partai Demokrat di Surabaya kali ini mau tidak mau harus mencari jalan keluar bagaimana memiliki media besar sebagai instrument corong politik.
Tetapi jika jalan keluar tak maksimal bisa diketemukan formulasinya, Partai Demokrat secara bertahap perlu mempertimbangkan untuk mempertegas posisinya sebagai oposan. Selama ini posisi Demokrat yang mengikuti gaya politik SBY yang sekedar mencari selamat. Walaupun cari selamat tetap penting di tengah gencarnya upaya intervensi penguasa ke partai-partai saat ini melalui permainan SK MENKUMHAM namun tak bisa dipertahankan jangka panjang karena akan merugikan Partai Demokrat. Dengan mengambil posisi “abu-abu” semacam maka rakyat yang sebagian besar awam akan sulit membedakan Partai Demokrat dengan Partai Penguasa, sehingga kalau ada ketidakpuasan atau kegagalan pemerintah Partai Demokrat bisa kena getahnya. Tetapi dengan mempertegas sebagai “partai oposisi” dia akan bisa bertindak sebagai penyambung suara rakyat yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintahan Jokowi-Jk. Minimal Partai Demokrat dianggap memiliki emphati atau kesejajaran perasaan dengan rakyat yang merasa tak diuntungkan kebijakan pemerintah. Partai Demokrat perlu mengaca pada sukses PDIP yang konsisten menjadi “partai oposisi” selama SBY menjadi Presiden. Selama menjadi “oposisi” itu PDIP efektif menjadi penentang utama Pemerintah SBY di parlemen dari mulai penentangan kenaikan BBM dan skandal Bank Century. Konsistennya selama 10 tahun menjadi oposisi ternyata membuahkan hasil, suara PDIP kembali naik ke peringkat pertama pada PEMILU 2014 yang PEMILU sebelumnya merosot ke peringkat kedua.
Posisi sebagai Oposisi dalam kadar tertentu memang membantu memperluas aksesnya ke media. Bagaimanapun media dalam batas tertentu bila ingin menarik pemirsa atau pembaca akan mempertimbangkan aspek hotnews suatu berita. Kalau kejadiannnya tak istimewa atau biasa-biasa sukar suatu kejadian atau materi informasi masuk menjadi laporan penting suatu media. Konsumen berita biasanya memang tak begitu tertarik pada media yang seolah hanya menjadi “bulletin pemerintah”. Dalam situasi kebijakan pemerintah yang banyak menimbulkan ketidakpuasan masyarakat seperti sekarang ini sikap-sikap oposisi semakin sexy atau marketable di kalangan rakyat yang menjadi Pemilih Pemilu. Semua terpulang pada Partai Demokrat lagi apakah tetap di wilayah abu-abu dengan resiko makin meredup di arena politik Indonesia atau Mempertegas Oposisi untuk investasi dukungan rakyat yang menjadi Pemilihnya dalam PEMILU ke depan.

Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
Hasil (Inggris) 2:[Salinan]
Disalin!
Welcoming the Democratic National Congress which will take place 11 to 13 May 2015 in Surabaya DEMOCRATS IN BETWEEN OPPOSITION OR NEUTRAL By: M. aminudin (Director of the Institute for Strategic and Development Studies (ISDS) / alumnus of Political Science Airlangga University) ------ ------ Democratic National Congress which will take place 11 to 13 May 2015 in Surabaya interesting to observe as the party formally declared himself as a stabilizing force in the rivalry between the Red and White Coalition (KMP) which are beyond the control of the Coalition Indonesia Superb (KIH) is in power. That means that even though the results of the last general election DEMOCRAT PARTY "only" put in fourth in the 2014 general election but its position was decisive konsetelasi political balance in the parliament. Accordingly the decision of the Democratic Congress in Surabaya will also determine the configuration of national power within the next five years whether to strengthen or reinforce the government in opposition ranks ?. But judging from the early history of the founding of the Democratic Party is the party seems difficult regardless of the figure figure Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) so if the party is not experiencing the intervention of the superstructure such as Golkar and PPP actually experienced the Democratic Party is not expected to happen turnaround leadership forward. That is either directly or indirectly, the party remains in the shadow of the political line of SBY. In fact, this party did emerge and grow up to be recognized for the SBY factor not because of ideological and political base flow. This is what distinguishes the Democrats with all the political parties which entered the Top 5 parties (The Big five) in Indonesia after the reformation of Election 1999 to 2014 where four other parties such as the PDI-P, Golkar, PAN, PKS, PKB mass base voters much rooted in the political stream Indonesia, which has emerged as a map of the post-independence political cleavage flow studies Indonesian observers from Australia in his book titled Indonesia's political thinking: 1945-1965 (Ed. by Herbert Feith and Lance Castles, Cornell University Press, Ithaca, USA: 1970). In general it is a big party of Indonesia from 1955 until today is still mostly relies on the support of political currents Indonesia as PDIP rooted in populist and Golkar nasioalisme flow among Priyayi, while PAN, PPP, PKS, PKB has been chosen by more supporters because of cultural loyalty bond due considered Muslim party representation. In the case of strengthening selection DEMOCRAT Party and Gerindra, political cleavage flow was hardly applicable, because the voters are very liquid mass flow variety is very pragmatic, almost all of them sucked figure magnet strength and influence leaders imaging communication messages gloss result of political consultants. In the case of the Democratic Party is quite phenomenal from start to emerge as a new party on Election 2004 directly reach more than 7% of the vote and immediately managed to deliver its main founder became president for two terms and the largest party skyrocketed in the first rank ELECTION 2009 to reach 21% Voice. Important factors that could deliver Democrat Direct was ranked at the top of the political ladder ELECTION time it is performance leadership and the satisfaction of government policies that followed SBY accurate imaging media including anti-corruption issues. But in the second term SBY period 2009-2014 the level of satisfaction on the government of SBY shrink sharply due to policy unpopular fuel price hike, LPG, etc. and also more and more cadres entangled in corruption cases. As the implications of the government of SBY's performance deficit of votes the party lost about 50% in 2014 compared ELECTION ELECTION 2009. Against the backdrop of the rise and fall of the Democratic Party that if the results of the Democratic Congress in Surabaya mid-2015 could be the entrance restore the glory of the Democratic party back in the future front? The answer could be yes and no. Opportunities revival of the Democratic Party is still open if you look at the political sentiment growing in today's society who start comparing the government of SBY and Jokowi. Majority in the eyes of the public considers the management of the SBY is still considered to be more effective where the policy direction of President everything can be said to be followed by the government officers including the police and military. But in the case of government Jokowi many public impression that appear in frequent insubordination (disobedience) the bureaucracy and the police against the direction of the President, especially in the case of VS Police Commission. Economic performance Jokowi-JK administration in the eyes of the people are increasingly depleted as ditujukkan all surveys include LSI, Indobarometer also waning due to economic uncertainty increase the community so that national economic growth in the first quarter Jokowi government slumped to about 4% compared to the end of the government of SBY about 6%. This growth slump looks increasingly eroded the real sector; Property, automotive slumped 50% -20%, inflation economy in the range of 10% due to soaring prices and tariffs in the energy sector such as fuel, LPG, electricity. Values ​​to the exchange on the dollar tends to decline, during the reign of Jokowi alone BI has been draining the foreign exchange reserves of about USD 4 billion to the effort to maintain the exchange rate does not rise rise above USD 13,000 / perdollar. With a picture of the supposed deterioration Democrat Party chance to restore the glory electoral next. But the fact is revivalism Democrats still have to go through a steep and winding road, what was the cause? Because the factor of "crisis" Party leadership figure who marketable to the masses. It must be admitted to entering the Democratic Party Congress in Surabaya is still experiencing "a crisis" commercially viable figures in 2019. PILPRES Edi Baskoro Yudhoyono projected that seems so apparent crown prince impressed still "too green" can only exist because of the big names of his father factor. While buds future leaders of the Democratic Party that originally own branding in the public nearly everything already withered before it develops because of legal issues such as tripping Andi Mallarangeng, Angelina Sondakh and Anas Urbaningrum. SBY himself is certainly not possible forward as president again. In the midst of "crisis figure" leader of the Democratic candidates, media constellation increasingly less conducive to the rise of the triumph of the Democratic Party again. Like it or not, the existence of non streams such as the Democratic party's ups and downs are very dependent on the image formed media including TV. If 5 or 10 years ago the majority of TV media owners not directly involved in partisan politics. But the current configuration of the media, especially media ownership undergone many changes. The owner of the TV began to busy to set up a political party or a leader of political parties. Surya Paloh (Metro TV / Media Indonesia) became the leader NasDem, Day Tanoe (MNC Group / RCTI / Global TV / SINDO) establish PERINDO, Bakrie became Chairman of Golkar Party. It is certain TV or media they will as much as possible into the mouthpiece of political parties of their respective owners. While Democrats Party until now none had major media as a funnel. Hence the need, Congress Democratic party in Surabaya this time inevitably have to find a way out how to have a big media as an instrument of political mouthpiece. But if no maximum exit can be found formulation, Democrats gradually need to consider to reinforce its position as an opposition. During the Democratic position that follows the style of politics SBY just looking for survivors. Although looking for survivors remain important in the midst of incessant interventions rulers to parties this time through the game SK Menkumham but could not be sustained long term because it will hurt the Democratic Party. By taking the position of "gray" sort of the people who are mostly lay people will be difficult to distinguish the Democrats with Party rulers, so that if there is dissatisfaction or failure of the Democratic Party government could get resin. But by boosting the "opposition party" he would be able to act as a fitting voice of the people who are dissatisfied with government policies Jokowi-Jk. Minimal Democratic Party is considered to have emphati or alignment with the feelings of the people who felt no benefit from government policy. Democrats need to mirror the success of consistent PDIP be "opposition party" during SBY became president. During her time as "opposition" was PDIP effectively become the main opponents of the government of SBY in parliament from the opposition began to increase in fuel and Bank Century scandal. Inconsistency for 10 years as the opposition proved fruitless, sound PDIP back up to the first rank in the previous ELECTION 2014 ELECTION slipped to second place. The position as Opposition in certain levels does help expand its access to the media. However the media to a certain extent if you want to attract viewers or readers will consider aspects HotNEWS news. If kejadiannnya not a special or ordinary difficult events or informational materials entering into important a media report. News consumers usually are not so keen on the media that seemed to just be a "bulletin government". In a situation that many government policies cause public dissatisfaction today's attitudes more sexy or marketable opposition among the people who became Voters Election. All is up to the Democrats again whether to remain in a gray area with the risks increasingly fade in the political arena Indonesia or Reinforce Opposition to the investment support of the people who become voters in the next general election.

















Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
 
Bahasa lainnya
Dukungan alat penerjemahan: Afrikans, Albania, Amhara, Arab, Armenia, Azerbaijan, Bahasa Indonesia, Basque, Belanda, Belarussia, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Burma, Cebuano, Ceko, Chichewa, China, Cina Tradisional, Denmark, Deteksi bahasa, Esperanto, Estonia, Farsi, Finlandia, Frisia, Gaelig, Gaelik Skotlandia, Galisia, Georgia, Gujarati, Hausa, Hawaii, Hindi, Hmong, Ibrani, Igbo, Inggris, Islan, Italia, Jawa, Jepang, Jerman, Kannada, Katala, Kazak, Khmer, Kinyarwanda, Kirghiz, Klingon, Korea, Korsika, Kreol Haiti, Kroat, Kurdi, Laos, Latin, Latvia, Lituania, Luksemburg, Magyar, Makedonia, Malagasi, Malayalam, Malta, Maori, Marathi, Melayu, Mongol, Nepal, Norsk, Odia (Oriya), Pashto, Polandia, Portugis, Prancis, Punjabi, Rumania, Rusia, Samoa, Serb, Sesotho, Shona, Sindhi, Sinhala, Slovakia, Slovenia, Somali, Spanyol, Sunda, Swahili, Swensk, Tagalog, Tajik, Tamil, Tatar, Telugu, Thai, Turki, Turkmen, Ukraina, Urdu, Uyghur, Uzbek, Vietnam, Wales, Xhosa, Yiddi, Yoruba, Yunani, Zulu, Bahasa terjemahan.

Copyright ©2024 I Love Translation. All reserved.

E-mail: