Negara Indonesia memang bukan Negara Islam, sehingga tidak diberlakuka terjemahan - Negara Indonesia memang bukan Negara Islam, sehingga tidak diberlakuka Inggris Bagaimana mengatakan

Negara Indonesia memang bukan Negar

Negara Indonesia memang bukan Negara Islam, sehingga tidak diberlakukan Syari’at Islam atau disebut dengan Khilafah yakni Negara yang sepenuhnya menjalankan Hukum Islam. Walaupun warga Negara Indonesia mayoritas beragama islam, alangkah tidak relevan apabila syari’at islam dijadikan sebagai ideologi Negara. Kenapa demikian? Karena Indonesia adalah Negara yang sifatnya heterogen, apabila syari’at islam dijadikan ideology Negara maka warga Negara yang non-muslim akan dimasukan kedalam lingkungan warga Negara kelas dua, dan orang yang berpaham atau berideologi non-agama, seperti kaum nasionalis dan sosialis, juga tidak akan memperoleh kedudukan terhormat di negeri ini (Baca : islamku,islam anda, islam kita).
Bersamaan dengan hal diatas, banyak kalangan yang menginginkan syari’at islam secara komprehensif menjadi sebuah ideologi negara, mereka mengatakan : “sungguh ironis sekali, apabila masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam menerapkan hukum peninggalan belanda, tidak menerapkan ajaran islam secara utuh dalam kehidupan masyarakat”.
Dengan demikian , kebutuhan memperdalam pandangan tentang hukum positif dan hukum islam sangat diperlukan untuk menciptakan sebuah pandangan yang moderat. Karena pada dasarnya seluruh sistem hukum mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan keadilan. Hal ini bisa kita tela’ah dalam definisi dari masing-masing kedua hukum diatas.
Hukum positif : Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.
Hukum islam : sekumpulan aturan baik yang berasal dari aturan formal maupun adat yang diakui oleh masayarakat dan bangsa tertentu sebagai pengikat bagi anggotanya.
Dari kedua definisi diatas bisa kita tarik sebuah simpulan bahwa keduanya merupakan sebuah aturan yang mengikat para anggota hukum secara paksa untuk menta’atinya. Hanya saja hukum islam berdasarkan wahyu Allah swt. dan sunah Rasul, serta berlaku dan mengikat hanya untuk semua umat islam. Sedangkan hukum positif adalah perundang-undangan, kebiasaan, traktat, jurisprudensi, doktrin. Yang sifatnya mengikat anggota hukum secara komprehensif.
Dari sini, akan terlihat beberapa perbedaan antara hukum islam dan hukum positif, diantaranya sebagai berikut :
1. hukum positif berasal dari Allah yang dibawa oleh Rasulullah saw.yang ma’shum, sedangkan Allah maha mengetahui apa yang diperlukan oleh hamba-Nya sehingga Dia memberian hukum yang dapat mewujudkan segala kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi mereka. Allah tidak perlu dengan hamba-Nya, Dia Maha kaya dan Maha penyayang dengan hamba-Nya. Adapun hukum positif yang menetapkannya adalah manusia, semua serba terbatas baik dari segi kemampuan, ilmu dan kebutuhan mereka dengan Allah, selain ia juga sangat tergantung pada faktor kecakapan, lingkungan, zaman, dan adapt kebiasaan.
2. bahwa hokum islam mengatur hubungan antara Allah dan hamba-Nya atas dasar agama yang berlandaskan kepada pamrih ukhrawi dan perhitungan terhadap amal-amal zhahir dan batin. Adapun hokum positif tidak memiliki semua itu, tidak ada perhitungan dan pamrih kecuali yang tampak saja dan berhubungan dengan orang lain. Jadi, tidak ada filter yang terkait dengan hati nurani.
3. hokum islam memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar. Ia mencakup segala bentuk ebaikan dan memotivasinya, mencegah yang munkar dan mewanti-wantinya. Adapun hokum positif hanya mengatasi masalah kerusakan (akibat negatif) dan andaikan ada kebaikan, itu hanya konsekuensi logis. Oleh karena itu balasannya hanya bersifat duniawi yang dilaksanakan oleh para penguasa. Sedangkan hokum islam, taat dan patuh dinilai sebagai ibadah, mendapat pahala dan mendapat kebaikan duniawi, melanggarnya dianggap maksiat dan dosa.
4. hukum positif terkadang melegalkan yang haram dengan alasan manfaat manusia. Sedangkan hukum islam tidak seperti itu karena Allah maha mengetahui dengan semua kebaikan walaupun manusia tidak mengetahuinya.
Tetapi dalam hal ini bukan berarti hukum positif tidak mempunyai kelebihan yang melahirkan sebuah manfaat walaupun dibuat oleh manusia tepatnya orang-orang romawi. Tetapi kita juga tidak dapat mengatakan, bahwa sistem hukum positif yang kita kenal sekarang ini adalah sepenuhnya mencerminkan ciri romawinya. Sistem hukum ini mulai muncul pada abad ketigabelas dan sejak itu mengalami perkembangan, perubahan, atau singkat kata menjalani suatu evolusi. Selama evolusi ini ia mengalami penyempurnaan, yaitu menyesuaikan kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya yang berubah. Oleh karena itulah kita tidak dapat menyamakan begitu saja sistem hukum positif ini dengan hukum romawi, sekalipun ia memang merupakan kelanjutan hukum tersebut. Dalam evolusinya itu hukum positif kemudian banyak dimasuki oleh unsur yang datang dari luar hukum romawi diantaranya hukum islam ikut andil memberikan kontribusi. Adapun kelebihan hukum positif adalah :
1. Apa yang diatur dengan mudah diketahui orang
2. setiap orang, kecuali yang tidak bisa membaca, mendapatkan jalan masuk yang sama ke dalam hukum
3. pengetahuan orang mengenai hukum senantiasa bisa dicocokan kembali dengan yang telah dituliskan, sehinngga mengurangi ketidakpastian
4. untuk keperluan pengembangan peraturan hukum atau perundangan-undangan, untuk membuat yang baru, maka hokum positif yang sudah tertulis juga menyediakan banyak kemudahan.
5. hukumnya mengikat secara komprehensif, tidak hanya pada golongan tertentu
sekalipun hukum positif memilki banyak kelebihan, tetapi ia tidak sekaligus bisa disamakan dengan meningkatnya kualitas keadilan, tetapi hanya menyangkut bentuk saja. Disamping itu, penggunaan hukum positif tidak serta-merta menghilangkan bekerjanya hukum islam yang lebih dikenal sebagai tradisi di Indonesia. Oleh karena itu sesungguhnya kita bisa berbicara tentang berjalannya dua bentuk tatanan secara berdampingan, yaitu hokum islam bisa bekerja secara diam-diam. Di bawah permukaan hukum positif yang bersifat resmi. Pendekatan sosiologis memungkinkan kita mengamati kejadian tersebut.
Dari semua pemaparan diatas akhirnya bisa kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa apabila kita berbicara tentang kelebihan dan kekurangan antara hokum islam dan hokum positif maka, sebenarnya hokum islam adalah hokum yang paling sempurna karena telah disempurnakan oleh Yang Maha sempurna. Untuk itu kita tidak akan menemukan kekurangan dalam hokum islam. Sedangkan hokum positif pasti ada kekurangan karena dibuat oleh manusia yang sangat terbatas dalam segalanya.
Terlepas dari semua itu, ketika pembawa sekaligus penjelas dari hokum islam yang tertuang dalam kitab suci Al-quran yaitu nabi Muhammad saw. meninggal dunia maka dari sini kita akan menemukan kekurangan dalam hukum islam yang bersifat aksidental tetapi tidak pada sifat esensialnya. Artinya ketika hukum islam menghadapi dinamika baru pada masyarakat modern yang solusinya tidak terdapat pada Al-quran secara kontekstual, maka akan terjadi peroses humanisasi hukum islam. sehingga kita akan menemukan berbagai penafsiran hukum dari berbagai mujtahid yang sifatnya tidak sempurna dengan kata lain pasti ada kekurangan.
Oleh karena itu, sebaiknya hukum islam tidak dijadikan sebagai hukum Negara yang formal karena akan terjadi chaos. Kita harus memperhatikan dengan jelas apa yang disebut hukum islam, apakah hanya hukum yang mengatur tindak pidana atau perdata dan lain sebagainya?. Apabila kita mempunyai pandangan bahwa yang disebut hukum islam itu seperti pertanyaan diatas, maka hal itu sebuah kesalahan besar karena sebenarnya hukum islam itu menyangkut fiqh dan syari’at sedangankan pidana,perdata, dan lain sebagainya itu adalah masalah fiqh, dimana fiqh adalah adalah sebagian dari hukum islam.
Nah ketika hukum islam dijadikan sebuah hukum formal dari satu Negara, kita harus mempertanyakan hukum yang ditafsirkan oleh siapa yang akan menjadi sebuah undang-undang yang resmi? Apabila kita mengambil salah satu penafsiran contohnya dari aliran Sunni maka bagaimana nasib dari orang-orang selain sunni. Apakah mereka harus menggadaikan penafsiran mereka? Apakah dengan hal itu kita tidak mengkabiri ke fleksibelan hukum islam? Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus kita kembangkan.
0/5000
Dari: -
Ke: -
Hasil (Inggris) 1: [Salinan]
Disalin!
Negara Indonesia memang bukan Negara Islam, sehingga tidak diberlakukan Syari’at Islam atau disebut dengan Khilafah yakni Negara yang sepenuhnya menjalankan Hukum Islam. Walaupun warga Negara Indonesia mayoritas beragama islam, alangkah tidak relevan apabila syari’at islam dijadikan sebagai ideologi Negara. Kenapa demikian? Karena Indonesia adalah Negara yang sifatnya heterogen, apabila syari’at islam dijadikan ideology Negara maka warga Negara yang non-muslim akan dimasukan kedalam lingkungan warga Negara kelas dua, dan orang yang berpaham atau berideologi non-agama, seperti kaum nasionalis dan sosialis, juga tidak akan memperoleh kedudukan terhormat di negeri ini (Baca : islamku,islam anda, islam kita).Bersamaan dengan hal diatas, banyak kalangan yang menginginkan syari’at islam secara komprehensif menjadi sebuah ideologi negara, mereka mengatakan : “sungguh ironis sekali, apabila masyarakat Indonesia yang mayoritas beragama islam menerapkan hukum peninggalan belanda, tidak menerapkan ajaran islam secara utuh dalam kehidupan masyarakat”.Dengan demikian , kebutuhan memperdalam pandangan tentang hukum positif dan hukum islam sangat diperlukan untuk menciptakan sebuah pandangan yang moderat. Karena pada dasarnya seluruh sistem hukum mempunyai tujuan yang sama yaitu menciptakan keadilan. Hal ini bisa kita tela’ah dalam definisi dari masing-masing kedua hukum diatas.Hukum positif : Peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana terhadap peraturan-peraturan tadi berakibatkan diambilnya tindakan, yaitu dengan hukuman tertentu.Hukum islam : sekumpulan aturan baik yang berasal dari aturan formal maupun adat yang diakui oleh masayarakat dan bangsa tertentu sebagai pengikat bagi anggotanya.Dari kedua definisi diatas bisa kita tarik sebuah simpulan bahwa keduanya merupakan sebuah aturan yang mengikat para anggota hukum secara paksa untuk menta’atinya. Hanya saja hukum islam berdasarkan wahyu Allah swt. dan sunah Rasul, serta berlaku dan mengikat hanya untuk semua umat islam. Sedangkan hukum positif adalah perundang-undangan, kebiasaan, traktat, jurisprudensi, doktrin. Yang sifatnya mengikat anggota hukum secara komprehensif.Dari sini, akan terlihat beberapa perbedaan antara hukum islam dan hukum positif, diantaranya sebagai berikut :1. hukum positif berasal dari Allah yang dibawa oleh Rasulullah saw.yang ma’shum, sedangkan Allah maha mengetahui apa yang diperlukan oleh hamba-Nya sehingga Dia memberian hukum yang dapat mewujudkan segala kemaslahatan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat bagi mereka. Allah tidak perlu dengan hamba-Nya, Dia Maha kaya dan Maha penyayang dengan hamba-Nya. Adapun hukum positif yang menetapkannya adalah manusia, semua serba terbatas baik dari segi kemampuan, ilmu dan kebutuhan mereka dengan Allah, selain ia juga sangat tergantung pada faktor kecakapan, lingkungan, zaman, dan adapt kebiasaan.2. bahwa hokum islam mengatur hubungan antara Allah dan hamba-Nya atas dasar agama yang berlandaskan kepada pamrih ukhrawi dan perhitungan terhadap amal-amal zhahir dan batin. Adapun hokum positif tidak memiliki semua itu, tidak ada perhitungan dan pamrih kecuali yang tampak saja dan berhubungan dengan orang lain. Jadi, tidak ada filter yang terkait dengan hati nurani.3. hokum islam memerintahkan yang baik dan mencegah yang munkar. Ia mencakup segala bentuk ebaikan dan memotivasinya, mencegah yang munkar dan mewanti-wantinya. Adapun hokum positif hanya mengatasi masalah kerusakan (akibat negatif) dan andaikan ada kebaikan, itu hanya konsekuensi logis. Oleh karena itu balasannya hanya bersifat duniawi yang dilaksanakan oleh para penguasa. Sedangkan hokum islam, taat dan patuh dinilai sebagai ibadah, mendapat pahala dan mendapat kebaikan duniawi, melanggarnya dianggap maksiat dan dosa.4. hukum positif terkadang melegalkan yang haram dengan alasan manfaat manusia. Sedangkan hukum islam tidak seperti itu karena Allah maha mengetahui dengan semua kebaikan walaupun manusia tidak mengetahuinya.Tetapi dalam hal ini bukan berarti hukum positif tidak mempunyai kelebihan yang melahirkan sebuah manfaat walaupun dibuat oleh manusia tepatnya orang-orang romawi. Tetapi kita juga tidak dapat mengatakan, bahwa sistem hukum positif yang kita kenal sekarang ini adalah sepenuhnya mencerminkan ciri romawinya. Sistem hukum ini mulai muncul pada abad ketigabelas dan sejak itu mengalami perkembangan, perubahan, atau singkat kata menjalani suatu evolusi. Selama evolusi ini ia mengalami penyempurnaan, yaitu menyesuaikan kepada tuntutan dan kebutuhan masyarakatnya yang berubah. Oleh karena itulah kita tidak dapat menyamakan begitu saja sistem hukum positif ini dengan hukum romawi, sekalipun ia memang merupakan kelanjutan hukum tersebut. Dalam evolusinya itu hukum positif kemudian banyak dimasuki oleh unsur yang datang dari luar hukum romawi diantaranya hukum islam ikut andil memberikan kontribusi. Adapun kelebihan hukum positif adalah :1. Apa yang diatur dengan mudah diketahui orang2. setiap orang, kecuali yang tidak bisa membaca, mendapatkan jalan masuk yang sama ke dalam hukum3. pengetahuan orang mengenai hukum senantiasa bisa dicocokan kembali dengan yang telah dituliskan, sehinngga mengurangi ketidakpastian4. untuk keperluan pengembangan peraturan hukum atau perundangan-undangan, untuk membuat yang baru, maka hokum positif yang sudah tertulis juga menyediakan banyak kemudahan.
5. hukumnya mengikat secara komprehensif, tidak hanya pada golongan tertentu
sekalipun hukum positif memilki banyak kelebihan, tetapi ia tidak sekaligus bisa disamakan dengan meningkatnya kualitas keadilan, tetapi hanya menyangkut bentuk saja. Disamping itu, penggunaan hukum positif tidak serta-merta menghilangkan bekerjanya hukum islam yang lebih dikenal sebagai tradisi di Indonesia. Oleh karena itu sesungguhnya kita bisa berbicara tentang berjalannya dua bentuk tatanan secara berdampingan, yaitu hokum islam bisa bekerja secara diam-diam. Di bawah permukaan hukum positif yang bersifat resmi. Pendekatan sosiologis memungkinkan kita mengamati kejadian tersebut.
Dari semua pemaparan diatas akhirnya bisa kita tarik sebuah kesimpulan, bahwa apabila kita berbicara tentang kelebihan dan kekurangan antara hokum islam dan hokum positif maka, sebenarnya hokum islam adalah hokum yang paling sempurna karena telah disempurnakan oleh Yang Maha sempurna. Untuk itu kita tidak akan menemukan kekurangan dalam hokum islam. Sedangkan hokum positif pasti ada kekurangan karena dibuat oleh manusia yang sangat terbatas dalam segalanya.
Terlepas dari semua itu, ketika pembawa sekaligus penjelas dari hokum islam yang tertuang dalam kitab suci Al-quran yaitu nabi Muhammad saw. meninggal dunia maka dari sini kita akan menemukan kekurangan dalam hukum islam yang bersifat aksidental tetapi tidak pada sifat esensialnya. Artinya ketika hukum islam menghadapi dinamika baru pada masyarakat modern yang solusinya tidak terdapat pada Al-quran secara kontekstual, maka akan terjadi peroses humanisasi hukum islam. sehingga kita akan menemukan berbagai penafsiran hukum dari berbagai mujtahid yang sifatnya tidak sempurna dengan kata lain pasti ada kekurangan.
Oleh karena itu, sebaiknya hukum islam tidak dijadikan sebagai hukum Negara yang formal karena akan terjadi chaos. Kita harus memperhatikan dengan jelas apa yang disebut hukum islam, apakah hanya hukum yang mengatur tindak pidana atau perdata dan lain sebagainya?. Apabila kita mempunyai pandangan bahwa yang disebut hukum islam itu seperti pertanyaan diatas, maka hal itu sebuah kesalahan besar karena sebenarnya hukum islam itu menyangkut fiqh dan syari’at sedangankan pidana,perdata, dan lain sebagainya itu adalah masalah fiqh, dimana fiqh adalah adalah sebagian dari hukum islam.
Nah ketika hukum islam dijadikan sebuah hukum formal dari satu Negara, kita harus mempertanyakan hukum yang ditafsirkan oleh siapa yang akan menjadi sebuah undang-undang yang resmi? Apabila kita mengambil salah satu penafsiran contohnya dari aliran Sunni maka bagaimana nasib dari orang-orang selain sunni. Apakah mereka harus menggadaikan penafsiran mereka? Apakah dengan hal itu kita tidak mengkabiri ke fleksibelan hukum islam? Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus kita kembangkan.
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
 
Bahasa lainnya
Dukungan alat penerjemahan: Afrikans, Albania, Amhara, Arab, Armenia, Azerbaijan, Bahasa Indonesia, Basque, Belanda, Belarussia, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Burma, Cebuano, Ceko, Chichewa, China, Cina Tradisional, Denmark, Deteksi bahasa, Esperanto, Estonia, Farsi, Finlandia, Frisia, Gaelig, Gaelik Skotlandia, Galisia, Georgia, Gujarati, Hausa, Hawaii, Hindi, Hmong, Ibrani, Igbo, Inggris, Islan, Italia, Jawa, Jepang, Jerman, Kannada, Katala, Kazak, Khmer, Kinyarwanda, Kirghiz, Klingon, Korea, Korsika, Kreol Haiti, Kroat, Kurdi, Laos, Latin, Latvia, Lituania, Luksemburg, Magyar, Makedonia, Malagasi, Malayalam, Malta, Maori, Marathi, Melayu, Mongol, Nepal, Norsk, Odia (Oriya), Pashto, Polandia, Portugis, Prancis, Punjabi, Rumania, Rusia, Samoa, Serb, Sesotho, Shona, Sindhi, Sinhala, Slovakia, Slovenia, Somali, Spanyol, Sunda, Swahili, Swensk, Tagalog, Tajik, Tamil, Tatar, Telugu, Thai, Turki, Turkmen, Ukraina, Urdu, Uyghur, Uzbek, Vietnam, Wales, Xhosa, Yiddi, Yoruba, Yunani, Zulu, Bahasa terjemahan.

Copyright ©2024 I Love Translation. All reserved.

E-mail: