Legenda Bukit FafinesuDi sebelah utara Kota Famenanu, Kabupaten Tengah terjemahan - Legenda Bukit FafinesuDi sebelah utara Kota Famenanu, Kabupaten Tengah Inggris Bagaimana mengatakan

Legenda Bukit FafinesuDi sebelah ut

Legenda Bukit Fafinesu

Di sebelah utara Kota Famenanu, Kabupaten Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat sebuah bukit bernama Fafinesu yang berarti Bukit Babi Gemuk. Ada suatu kisah menarik yang melatarbelakangi penamaan bukit itu. Kisahnya adalah sebagai berikut.
Pada zaman dahulu kala di pedalaman Pulau Timor ada tiga orang adik-beradik bernama Saku, Abatan, dan Seko. Mereka hidup dan tinggal bersama dengan kerabat ibunya, sebab Ayah dan ibu mereka telah tiada. Ayah ketiga orang ini meninggal dunia karena terjatuh ke jurang ketika sedang berburu babi hutan. Tujuh bulan kemudian Sang Ibu juga meninggal dunia karena kehabisan darah ketika sedang melahirkan Si Bungsu, Seko. Hal ini diperparah lagi ketika nenek yang mengasuh mereka juga ikut meninggal dunia karena dimakan usia ketka Si Bungsu baru berumur dua tahun.
Waktu pun berlalu. Walau hidup serba kekurangan, mereka senantasa rukun dan bahagia. Abatan tumbuh menjadi seorang remaja yang rajin dan cerdas. Ia sering menanam jagung dan ketela di ladang, mencari kayu bakar di hutan, dan memasak untuk kakak dan adiknya. Si Bungsu pun yang telah berumur lima tahun dan menjadi seorang anak yang penurut. Ia sudah dapat membedakan mana yang baik dan buruk sehingga kakak-kakaknya semakin bahagia.
Namun di tengah suasana yang rukun dan damai tersebut, suatu malam Si Bungsu tidak dapat memejamkan matanya. Tiba-tiba saja hatinya merasa rindu kepada kedua orang tuanya, sebab sejak bayi tidak pernah merasakan belaian kasih sayang dari ayah ibunya. Ia lalu menghampiri kakak sulungnya dan bertanya, “Kak Saku, ke manakah ayah dan ibu pergi? Kenapa mereka tidak pernah datang kemari?”
Karena tidak ingin membuat Si Bungsu bersedih, maka Saku menjawab, “Ayah dan ibu sedang pergi jauh, Adikku!. Suatu saat mereka akan pulang membawa makanan yang lezat-lezat untuk kita.”
Dongengan Saku ternyata membuat hati Si Bungsu menjadi tenteram kembali. Ia akhirnya tertidur pulas di samping kakaknya. Tetapi kini giliran Si Saku yang tidak dapat memejamkan mata karena sedih melihat Si Bungsu yang tidak pernah sekalipun bertemu orang tuanya. Ia lalu mengambil serulingnya dan berjalan ke arah bukit yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
Sesampai di atas bukit, sambil menangis dan memandang langit ia pun berkata, “Ayah, Ibu! Kami sangat merindukan kalian. Mengapa begitu cepat kalian meninggalkan kami.”
Kemudian, ia mulai meniup seluring sambil sambil menyanyikan lagu kesukaannya.
Ama ma aim honi (Ayah dan Ibu)
Kios man ho an honi (Lihatlah anakmu yang datang)
Nem nek han a amnaut (Membawa setumpuk kerinduan)
Masi ho mu lo’o (Walau kamu jauh)
Au fe toit nek amanekat (Aku butuh sentuhan kasihmu)
Masi hom naoben me au toit (Walau kalian teah tiada, aku minta)
Ha ho mumaof kau ma hanik kau (Supaya Ayah dan Ibu melindungi dan memberi rezeki)
Saat sedang menghayat lagu tersebut, tanpa sepengetahuannya kedua roh orang tuanya turun dari langit. Melalui angin malam, roh Sang Ayah berkata, “Anakku, aku dan ibumu mendengarmu. Meskipun kta berada di dunia yang berbeda, kami akan selalu bersama kalian.”
Saku menjadi terperangah. Ia tidak tahu dari mana datangnya suara itu. Namun, sebelum sempat pulih dari keterkejutannya, tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi.
“Anakku, esok hari sebelum ayam berkokok ajaklah adik-adikmu menemui kami di tempat ini. Selain itu, engkau juga harus membawa seekor ayam jantan merah untuk dijadikan kurban!”
Singkat cerita, keesokan harinya ia pun menceritakan kejadian yang dialaminya semalam kepada adik-adiknya. Betapa gembiranya hati Si Bungsu mendengar cerita Si Saku. Ia sudah tidak sabar lagi ingin segera bertemu dengan kedua orangtuanya yang selama ini dirindukan.
Tepat tengah malam Saku bersama kedua adiknya berangkat menuju ke puncak bukit sambil membawa seekor ayam jantan merah pesanan kedua orang tua mereka. Setelah mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba angin bertiup kencang yang membuat pepohonan di sekitarnya meliuk-liuk seperti sedang menari.
Begitu tiupan angin berhenti, tiba-tba terlihat dua sosok bayangan berjalan menghampiri mereka.
“Ayah, Ibu!” seru Saku dan Abatan saat melihat bayangan itu.
Mengerti bahwa kedua sosok itu adalah orangtuanya, Si Bungsu segera berlari ke salah satu sosok dan memeluknya erat-erat sambil berkata, “Ibu, saya sangat merindukanmu.”
“Kami juga sangat merindukanmu,” jawab Sang Ibu singkat.
Kemudian Sang Ayah membawa isteri dan ketiga anaknya menuju ke dasar jurang. Sesampainya di sana, ia lalu menyuruh Si Seko untuk segera menyembelih ayam jantan merah yang dibawanya. Saat darah ayam itu menyentuh bumi, tiba-tiba ada dua ekor babi yang gemuk muncul di tengah-tengah mereka. Mereka segera mendekati kedua ekor babi tersebut dan mengelus-elusnya.
Selang beberapa menit kemudian ayam jantan mulai berkokok yang menandai datangnya pagi. Pada saat yang bersamaan bayangan kedua orang tua mereka tiba-tiba memudar dan akhirnya lenyap. Menyadari bahwa hari telah pagi ketiga bersaudara tersebut segera mengiring babi pemberian orang
0/5000
Dari: -
Ke: -
Hasil (Inggris) 1: [Salinan]
Disalin!
Legenda Bukit FafinesuDi sebelah utara Kota Famenanu, Kabupaten Tengah Utara, Provinsi Nusa Tenggara Timur terdapat sebuah bukit bernama Fafinesu yang berarti Bukit Babi Gemuk. Ada suatu kisah menarik yang melatarbelakangi penamaan bukit itu. Kisahnya adalah sebagai berikut.Pada zaman dahulu kala di pedalaman Pulau Timor ada tiga orang adik-beradik bernama Saku, Abatan, dan Seko. Mereka hidup dan tinggal bersama dengan kerabat ibunya, sebab Ayah dan ibu mereka telah tiada. Ayah ketiga orang ini meninggal dunia karena terjatuh ke jurang ketika sedang berburu babi hutan. Tujuh bulan kemudian Sang Ibu juga meninggal dunia karena kehabisan darah ketika sedang melahirkan Si Bungsu, Seko. Hal ini diperparah lagi ketika nenek yang mengasuh mereka juga ikut meninggal dunia karena dimakan usia ketka Si Bungsu baru berumur dua tahun.Waktu pun berlalu. Walau hidup serba kekurangan, mereka senantasa rukun dan bahagia. Abatan tumbuh menjadi seorang remaja yang rajin dan cerdas. Ia sering menanam jagung dan ketela di ladang, mencari kayu bakar di hutan, dan memasak untuk kakak dan adiknya. Si Bungsu pun yang telah berumur lima tahun dan menjadi seorang anak yang penurut. Ia sudah dapat membedakan mana yang baik dan buruk sehingga kakak-kakaknya semakin bahagia.Namun di tengah suasana yang rukun dan damai tersebut, suatu malam Si Bungsu tidak dapat memejamkan matanya. Tiba-tiba saja hatinya merasa rindu kepada kedua orang tuanya, sebab sejak bayi tidak pernah merasakan belaian kasih sayang dari ayah ibunya. Ia lalu menghampiri kakak sulungnya dan bertanya, “Kak Saku, ke manakah ayah dan ibu pergi? Kenapa mereka tidak pernah datang kemari?”Karena tidak ingin membuat Si Bungsu bersedih, maka Saku menjawab, “Ayah dan ibu sedang pergi jauh, Adikku!. Suatu saat mereka akan pulang membawa makanan yang lezat-lezat untuk kita.”Dongengan Saku ternyata membuat hati Si Bungsu menjadi tenteram kembali. Ia akhirnya tertidur pulas di samping kakaknya. Tetapi kini giliran Si Saku yang tidak dapat memejamkan mata karena sedih melihat Si Bungsu yang tidak pernah sekalipun bertemu orang tuanya. Ia lalu mengambil serulingnya dan berjalan ke arah bukit yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka.Sesampai di atas bukit, sambil menangis dan memandang langit ia pun berkata, “Ayah, Ibu! Kami sangat merindukan kalian. Mengapa begitu cepat kalian meninggalkan kami.”Kemudian, ia mulai meniup seluring sambil sambil menyanyikan lagu kesukaannya.Ama ma aim honi (Ayah dan Ibu)Kios man ho an honi (Lihatlah anakmu yang datang)Nem nek han a amnaut (Membawa setumpuk kerinduan)Masi ho mu lo’o (Walau kamu jauh)Au fe toit nek amanekat (Aku butuh sentuhan kasihmu)Masi hom naoben me au toit (Walau kalian teah tiada, aku minta)Ha ho mumaof kau ma hanik kau (Supaya Ayah dan Ibu melindungi dan memberi rezeki)Saat sedang menghayat lagu tersebut, tanpa sepengetahuannya kedua roh orang tuanya turun dari langit. Melalui angin malam, roh Sang Ayah berkata, “Anakku, aku dan ibumu mendengarmu. Meskipun kta berada di dunia yang berbeda, kami akan selalu bersama kalian.”Saku menjadi terperangah. Ia tidak tahu dari mana datangnya suara itu. Namun, sebelum sempat pulih dari keterkejutannya, tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi.“Anakku, esok hari sebelum ayam berkokok ajaklah adik-adikmu menemui kami di tempat ini. Selain itu, engkau juga harus membawa seekor ayam jantan merah untuk dijadikan kurban!”Singkat cerita, keesokan harinya ia pun menceritakan kejadian yang dialaminya semalam kepada adik-adiknya. Betapa gembiranya hati Si Bungsu mendengar cerita Si Saku. Ia sudah tidak sabar lagi ingin segera bertemu dengan kedua orangtuanya yang selama ini dirindukan.Tepat tengah malam Saku bersama kedua adiknya berangkat menuju ke puncak bukit sambil membawa seekor ayam jantan merah pesanan kedua orang tua mereka. Setelah mereka tiba di puncak bukit, tiba-tiba angin bertiup kencang yang membuat pepohonan di sekitarnya meliuk-liuk seperti sedang menari.Begitu tiupan angin berhenti, tiba-tba terlihat dua sosok bayangan berjalan menghampiri mereka.“Ayah, Ibu!” seru Saku dan Abatan saat melihat bayangan itu.Mengerti bahwa kedua sosok itu adalah orangtuanya, Si Bungsu segera berlari ke salah satu sosok dan memeluknya erat-erat sambil berkata, “Ibu, saya sangat merindukanmu.”“Kami juga sangat merindukanmu,” jawab Sang Ibu singkat.Kemudian Sang Ayah membawa isteri dan ketiga anaknya menuju ke dasar jurang. Sesampainya di sana, ia lalu menyuruh Si Seko untuk segera menyembelih ayam jantan merah yang dibawanya. Saat darah ayam itu menyentuh bumi, tiba-tiba ada dua ekor babi yang gemuk muncul di tengah-tengah mereka. Mereka segera mendekati kedua ekor babi tersebut dan mengelus-elusnya.Selang beberapa menit kemudian ayam jantan mulai berkokok yang menandai datangnya pagi. Pada saat yang bersamaan bayangan kedua orang tua mereka tiba-tiba memudar dan akhirnya lenyap. Menyadari bahwa hari telah pagi ketiga bersaudara tersebut segera mengiring babi pemberian orang
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
Hasil (Inggris) 2:[Salinan]
Disalin!
Legend of Bukit Fafinesu In the northern city of Famenanu, North Central District, East Nusa Tenggara, there is a hill called Bukit Fafinesu which means Fat Pig. There is an interesting story behind the naming of the hill. The story is as follows. In the days of yore in the interior of the island of Timor there are three brothers and a sister named Saku, Abatan, and Seko. They live and live together with relatives of his mother, father and mother because they had gone. Dad these three people died in a fall off a cliff while hunting wild boar. Seven months later her mother also died from loss of blood while giving birth Si Young, Seko. This is further aggravated when the grandmother who nurtured them also died eaten ketka The Youngest age of two years old. Time passed. Although deprived of life, they senantasa harmonious and happy. Abatan grew into a teenager who was diligent and intelligent. He often grow maize and cassava in the fields, looking for firewood in the forest, and cook for a brother and sister. The Youngest ever been aged five years and became an obedient child. He has been able to distinguish what is good and bad that his older brothers more happy. But in the middle atmosphere in harmony and peace, one night The Youngest can not close his eyes. Suddenly she felt a longing to his parents, because since the baby had never felt the caress of affection from his mother's father. He then went to his elder brother and asked, "Sister Saku, where are the father and mother go? Why do they never come here? " Because do not want to make The Youngest sad, then Saku replied," My father and mother was away, my sister !. One day they will return to bring the food was delicious-delicious for us. ' Tales that make the heart Saku The Youngest tranquilize back. He finally fell asleep beside her sister. But now turn Si Saku who can not close my eyes because it was sad to see The Youngest who had never even met her parents. He then took his flute and walked toward the hill not far from where they live. Arriving at the top of the hill, weeping and looking at the sky he said, "Dad, Mom! We really miss you. Why so fast you leave us. " Later, he began to blow seluring while singing her favorite song. Ama ma aim Honi (father and mother) Kiosk man ho an Honi (Look at your son who came) Nem nek han a amnaut (Bring a stack of longing) Masi ho mu lo'o (Although you away) Au fe toit nek amanekat (I need a touch of love) Masi hom naoben me au toit (Although you teah gone, I ask) Ha ho mumaof you ma Hanik you (So my father and mother protecting and provide sustenance) While the song menghayat, without his knowledge the spirits of his parents came down from the sky. Through the night wind, the spirit of the Father said, "Son, your mother and I hear you. Although kta are in a different world, we will always be with you. " Saku be stunned. He did not know where it comes from the sound of it. However, before they could recover from the shock, the sudden magical voice was heard again. "My son, the next day before the rooster crows invite your sisters to meet us in this place. In addition, you should also bring a rooster red to serve as a sacrifice! " In short, the next day he tells the events that happened overnight to younger siblings. The Youngest how happy heart to hear stories Si Saku. He is not dying to meet with parents that had been missed. Right midnight Saku together siblings headed to the top of the hill while carrying a red rooster booking both of their parents. After they arrived at the top of the hill, suddenly the wind was blowing that makes trees in the surrounding writhed like dancing. As soon as the wind stopped, suddenly tba saw two shadowy figures walking toward them. "Dad, Mom!" Said Saku and abatan when she saw the shadow of it. Understand that the two figures were her parents, the Youngest immediately ran into one figure and hugged her tightly and said, "Mom, I miss you very much." "We miss you so much," said Mother brief. then the father brought his wife and three children heading into the abyss. Once there, he was then sent for immediate slaughter Si Seko red rooster carries. When the chicken blood that touched the earth, suddenly there were two pigs that fat appears in their midst. They immediately approached the two pigs and stroked elusnya. A few minutes later the roosters start crowing that heralded the morning. At the same time the shadow of their parents suddenly fade and eventually disappear. Realizing that the three brothers had morning immediately escorted the pig Award



























Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
 
Bahasa lainnya
Dukungan alat penerjemahan: Afrikans, Albania, Amhara, Arab, Armenia, Azerbaijan, Bahasa Indonesia, Basque, Belanda, Belarussia, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Burma, Cebuano, Ceko, Chichewa, China, Cina Tradisional, Denmark, Deteksi bahasa, Esperanto, Estonia, Farsi, Finlandia, Frisia, Gaelig, Gaelik Skotlandia, Galisia, Georgia, Gujarati, Hausa, Hawaii, Hindi, Hmong, Ibrani, Igbo, Inggris, Islan, Italia, Jawa, Jepang, Jerman, Kannada, Katala, Kazak, Khmer, Kinyarwanda, Kirghiz, Klingon, Korea, Korsika, Kreol Haiti, Kroat, Kurdi, Laos, Latin, Latvia, Lituania, Luksemburg, Magyar, Makedonia, Malagasi, Malayalam, Malta, Maori, Marathi, Melayu, Mongol, Nepal, Norsk, Odia (Oriya), Pashto, Polandia, Portugis, Prancis, Punjabi, Rumania, Rusia, Samoa, Serb, Sesotho, Shona, Sindhi, Sinhala, Slovakia, Slovenia, Somali, Spanyol, Sunda, Swahili, Swensk, Tagalog, Tajik, Tamil, Tatar, Telugu, Thai, Turki, Turkmen, Ukraina, Urdu, Uyghur, Uzbek, Vietnam, Wales, Xhosa, Yiddi, Yoruba, Yunani, Zulu, Bahasa terjemahan.

Copyright ©2024 I Love Translation. All reserved.

E-mail: