Situ BagenditLegenda dari Jawa Barat.Pada zaman dahulu kala disebelah  terjemahan - Situ BagenditLegenda dari Jawa Barat.Pada zaman dahulu kala disebelah  Prancis Bagaimana mengatakan

Situ BagenditLegenda dari Jawa Bara

Situ Bagendit

Legenda dari Jawa Barat.

Pada zaman dahulu kala disebelah utara kota garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.

Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak bernama Nyai Endit.

Nyai Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.

“Wah kapan ya nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada temannya. “Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”

“Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!” sahut temannya. “Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”

Sementara iru Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.

“Barja!” kata nyai Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyai Endit.

“Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”

“Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!” kata Nyai Endit.

Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.

“Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”

Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.

Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.

“Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.

Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.

“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.

“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut

“Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek

“Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”

“Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.

“Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.

“Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”

“Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”

“Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.

Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.

Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.

“Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.

“Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.

“Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”

Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.

Centeng-centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.

“Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”

“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.

“Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.

“Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.

Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.

“Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”

“Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.

“Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”

“Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.

Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.

“Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”

Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.

“Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”

Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.

“Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”

Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.

Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
0/5000
Dari: -
Ke: -
Hasil (Prancis) 1: [Salinan]
Disalin!
Situ BagenditLegenda dari Jawa Barat.Pada zaman dahulu kala disebelah utara kota garut ada sebuah desa yang penduduknya kebanyakan adalah petani. Karena tanah di desa itu sangat subur dan tidak pernah kekurangan air, maka sawah-sawah mereka selalu menghasilkan padi yang berlimpah ruah. Namun meski begitu, para penduduk di desa itu tetap miskin kekurangan.Hari masih sedikit gelap dan embun masih bergayut di dedaunan, namun para penduduk sudah bergegas menuju sawah mereka. Hari ini adalah hari panen. Mereka akan menuai padi yang sudah menguning dan menjualnya kepada seorang tengkulak bernama Nyai Endit.Nyai Endit adalah orang terkaya di desa itu. Rumahnya mewah, lumbung padinya sangat luas karena harus cukup menampung padi yang dibelinya dari seluruh petani di desa itu. Ya! Seluruh petani. Dan bukan dengan sukarela para petani itu menjual hasil panennya kepada Nyai Endit.Mereka terpaksa menjual semua hasil panennya dengan harga murah kalau tidak ingin cari perkara dengan centeng-centeng suruhan nyai Endit. Lalu jika pasokan padi mereka habis, mereka harus membeli dari nyai Endit dengan harga yang melambung tinggi.“Wah kapan ya nasib kita berubah?” ujar seorang petani kepada temannya. “Tidak tahan saya hidup seperti ini. Kenapa yah, Tuhan tidak menghukum si lintah darat itu?”“Sssst, jangan kenceng-kenceng atuh, nanti ada yang denger!” sahut temannya. “Kita mah harus sabar! Nanti juga akan datang pembalasan yang setimpal bagi orang yang suka berbuat aniaya pada orang lain. Kan Tuhan mah tidak pernah tidur!”Sementara iru Nyai Endit sedang memeriksa lumbung padinya.“Barja!” kata nyai Endit. “Bagaimana? Apakah semua padi sudah dibeli?” kata nyai Endit.“Beres Nyi!” jawab centeng bernama Barja. “Boleh diperiksa lumbungnya Nyi! Lumbungnya sudah penuh diisi padi, bahkan beberapa masih kita simpan di luar karena sudah tak muat lagi.”“Ha ha ha ha…! Sebentar lagi mereka akan kehabisan beras dan akan membeli padiku. Aku akan semakin kaya!!! Bagus! Awasi terus para petani itu, jangan sampai mereka menjual hasil panennya ke tempat lain. Beri pelajaran bagi siapa saja yang membangkang!” kata Nyai Endit.Benar saja, beberapa minggu kemudian para penduduk desa mulai kehabisan bahan makanan bahkan banyak yang sudah mulai menderita kelaparan. Sementara Nyai Endit selalu berpesta pora dengan makanan-makanan mewah di rumahnya.“Aduh pak, persediaan beras kita sudah menipis. Sebentar lagi kita terpaksa harus membeli beras ke Nyai Endit. Kata tetangga sebelah harganya sekarang lima kali lipat disbanding saat kita jual dulu. Bagaimana nih pak? Padahal kita juga perlu membeli keperluan yang lain. Ya Tuhan, berilah kami keringanan atas beban yang kami pikul.”Begitulah gerutuan para penduduk desa atas kesewenang-wenangan Nyai Endit.Suatu siang yang panas, dari ujung desa nampak seorang nenek yang berjalan terbungkuk-bungkuk. Dia melewati pemukiman penduduk dengan tatapan penuh iba.“Hmm, kasihan para penduduk ini. Mereka menderita hanya karena kelakuan seorang saja. Sepertinya hal ini harus segera diakhiri,” pikir si nenek.Dia berjalan mendekati seorang penduduk yang sedang menumbuk padi.“Nyi! Saya numpang tanya,” kata si nenek.“Ya nek ada apa ya?” jawab Nyi Asih yang sedang menumbuk padi tersebut“Dimanakah saya bisa menemukan orang yang paling kaya di desa ini?” tanya si nenek“Oh, maksud nenek rumah Nyi Endit?” kata Nyi Asih. “Sudah dekat nek. Nenek tinggal lurus saja sampai ketemu pertigaan. Lalu nenek belok kiri. Nanti nenek akan lihat rumah yang sangat besar. Itulah rumahnya. Memang nenek ada perlu apa sama Nyi Endit?”“Saya mau minta sedekah,” kata si nenek.“Ah percuma saja nenek minta sama dia, ga bakalan dikasih. Kalau nenek lapar, nenek bisa makan di rumah saya, tapi seadanya,” kata Nyi Asih.“Tidak perlu,” jawab si nenek. “Aku Cuma mau tahu reaksinya kalau ada pengemis yang minta sedekah. O ya, tolong kamu beritahu penduduk yang lain untuk siap-siap mengungsi. Karena sebentar lagi akan ada banjir besar.”“Nenek bercanda ya?” kata Nyi Asih kaget. “Mana mungkin ada banjir di musim kemarau.”“Aku tidak bercanda,” kata si nenek.”Aku adalah orang yang akan memberi pelajaran pada Nyi Endit. Maka dari itu segera mengungsilah, bawalah barang berharga milik kalian,” kata si nenek.Setelah itu si nenek pergi meniggalkan Nyi Asih yang masih bengong.Sementara itu Nyai Endit sedang menikmati hidangan yang berlimpah, demikian pula para centengnya. Si pengemis tiba di depan rumah Nyai Endit dan langsung dihadang oleh para centeng.“Hei pengemis tua! Cepat pergi dari sini! Jangan sampai teras rumah ini kotor terinjak kakimu!” bentak centeng.“Saya mau minta sedekah. Mungkin ada sisa makanan yang bisa saya makan. Sudah tiga hari saya tidak makan,” kata si nenek.“Apa peduliku,” bentak centeng. “Emangnya aku bapakmu? Kalau mau makan ya beli jangan minta! Sana, cepat pergi sebelum saya seret!”Tapi si nenek tidak bergeming di tempatnya. “Nyai Endit keluarlah! Aku mau minta sedekah. Nyai Endiiiit…!” teriak si nenek.Centeng-centeng itu berusaha menyeret si nenek yang terus berteriak-teriak, tapi tidak berhasil.“Siapa sih yang berteriak-teriak di luar,” ujar Nyai Endit. “Ganggu orang makan saja!”“Hei…! Siapa kamu nenek tua? Kenapa berteriak-teriak di depan rumah orang?” bentak Nyai Endit.“Saya Cuma mau minta sedikit makanan karena sudah tiga hari saya tidak makan,” kata nenek.“Lah..ga makan kok minta sama aku? Tidak ada! Cepat pergi dari sini! Nanti banyak lalat nyium baumu,” kata Nyai Endit.Si nenek bukannya pergi tapi malah menancapkan tongkatnya ke tanah lalu memandang Nyai Endit dengan penuh kemarahan.“Hei Endit..! Selama ini Tuhan memberimu rijki berlimpah tapi kau tidak bersyukur. Kau kikir! Sementara penduduk desa kelaparan kau malah menghambur-hamburkan makanan” teriak si nenek berapi-api. “Aku datang kesini sebagai jawaban atas doa para penduduk yang sengsara karena ulahmu! Kini bersiaplah menerima hukumanmu.”“Ha ha ha … Kau mau menghukumku? Tidak salah nih? Kamu tidak lihat centeng-centengku banyak! Sekali pukul saja, kau pasti mati,” kata Nyai Endit.“Tidak perlu repot-repot mengusirku,” kata nenek. “Aku akan pergi dari sini jika kau bisa mencabut tongkatku dari tanah.”“Dasar nenek gila. Apa susahnya nyabut tongkat. Tanpa tenaga pun aku bisa!” kata Nyai Endit sombong.Lalu hup! Nyai Endit mencoba mencabut tongkat itu dengan satu tangan. Ternyata tongkat itu tidak bergeming. Dia coba dengan dua tangan. Hup hup! Masih tidak bergeming juga.“Sialan!” kata Nyai Endit. “Centeng! Cabut tongkat itu! Awas kalau sampai tidak tercabut. Gaji kalian aku potong!”Centeng-centeng itu mencoba mencabut tongkat si nenek, namun meski sudah ditarik oleh tiga orang, tongkat itu tetap tak bergeming.“Ha ha ha… kalian tidak berhasil?” kata si nenek. “Ternyata tenaga kalian tidak seberapa. Lihat aku akan mencabut tongkat ini.”Brut! Dengan sekali hentakan, tongkat itu sudah terangkat dari tanah. Byuuuuurrr!!!! Tiba-tiba dari bekas tancapan tongkat si nenek menyembur air yang sangat deras.“Endit! Inilah hukuman buatmu! Air ini adalah air mata para penduduk yang sengsara karenamu. Kau dan seluruh hartamu akan tenggelam oleh air ini!”Setelah berkata demikian si nenek tiba-tiba menghilang entah kemana. Tinggal Nyai Endit yang panik melihat air yang meluap dengan deras. Dia berusaha berlari menyelamatkan hartanya, namun air bah lebih cepat menenggelamkannya beserta hartanya.Di desa itu kini terbentuk sebuah danau kecil yang indah. Orang menamakannya ‘Situ Bagendit’. Situ artinya danau dan Bagendit berasal dari kata Endit. Beberapa orang percaya bahwa kadang-kadang kita bisa melihat lintah sebesar kasur di dasar danau. Katanya itu adalah penjelmaan Nyai Endit yang tidak berhasil kabur dari jebakan air bah.
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
Hasil (Prancis) 2:[Salinan]
Disalin!
Bagendit légende de l'ouest de Java. Dans les temps anciens, au nord de la ville d'arrow-root, il est un village dont les habitants sont essentiellement des agriculteurs. Parce que la terre dans le village est très fertile et est jamais à court d'eau, les champs de riz qu'ils produisent toujours du riz qui abondent. Mais même ainsi, les habitants du village reste lacunes pauvres. Il était encore un peu rosée sombre et toujours suspendue dans les feuilles, mais les résidents était précipité à leurs champs. Aujourd'hui est le jour de la récolte. Ils vont récolter le riz jauni et de le vendre à un intermédiaire nommé Nyai Endit. Nyai Endit est l'homme le plus riche dans le village. Sa maison est un grenier à riz de luxe très large, car il devrait être suffisant pour accueillir le riz acheté par les agriculteurs dans le village. Oui! Tous les agriculteurs. Et les agriculteurs involontaires qui vendent leurs récoltes à Nyai Endit.Mereka contraints de vendre toutes leurs récoltes à bas prix si vous ne voulez pas de trouver le cas avec la garde-gardien Nyai Endit course. Ensuite, si la fourniture de riz Ils étaient épuisés, ils doivent être achetés auprès de la gouvernante Endit avec la hausse des prix. "Oh oui sort quand nous changeons?", Dit un agriculteur à son ami. "Ne me touche pas à vivre comme ça. Pourquoi Eh bien, Dieu ne punit pas l'usurier il? "" Atuh Chut, ne Kenceng-Kenceng, plus tard, ont été entendus! », Répondit son ami. "Nous devons être mah patient! Plus tard viendront les représailles en nature pour les personnes qui aiment faire injustice aux autres. Kan mah Dieu ne dort jamais! "Alors que iru Nyai Endit vérifiait le riz grenier." Barja! "Dit Nyai Endit. «Comment? Sont tout le riz déjà acheté? ", A déclaré gouvernante Endit." Beres Nyi! »Répondit le gardien appelé Barja. "Il doit être vérifié grange Nyi! La grange est pleine rempli de riz, certains nous sauver même toujours dehors parce qu'il ne répond plus. "" Ha ha ha ha ...! Bientôt, ils seront à court de riz et vont acheter padiku. Je vais être riche !!! Bon! Gardez un oeil sur les agriculteurs, ne les laissez pas vendre leurs récoltes ailleurs. Donner une leçon pour tous ceux qui désobéissent! "Dit Nyai Endit. Effectivement, quelques semaines plus tard, les villageois ont commencé à manquer de nourriture et beaucoup ont été déjà commencé à souffrir de la faim. Alors que Nyai Endit fête toujours avec des aliments de luxe à la maison. "Oh monsieur, notre approvisionnement en riz est faible. Bientôt, nous sommes obligés d'acheter du riz à Nyai Endit. Voisin d'à côté a dit que le prix est maintenant cinq fois plus élevé par rapport à quand nous la première vente. Comment ça Pack? Pourtant, nous avons aussi besoin d'acheter d'autres fins. O Seigneur, donne-nous allégeant la charge que nous portons. "Ce harceler les villageois plus de l'arbitraire Nyai Endit. Un après-midi chaud, à partir de la fin du village est apparu une grand-mère qui marchait pencha. Il a passé des règlements avec un regard de pitié. "Hmm, pitié pour les habitants de cette. Ils souffraient seulement à cause du comportement d'un cours. Il semble que cela devrait être terminé », pensa la grand-mère. Elle marcha jusqu'à un résident qui pilait le riz." Nyi! Je roule autour, "dit la grand-mère." Oui grand-mère il ya quoi? ", A déclaré Nyi Asih qui battait le riz est" Où puis-je trouver les personnes les plus riches dans le village? »Demanda la mère" Oh, vous voulez dire la maison de grand-mère Nyi Endit ? ", a déclaré Nyi Asih. "Il est proche de la grand-mère. Grand-mère est restée droite jusqu'à ce que vous trouvez un T-jonction. Il ya la grand-mère, tourner à gauche. Plus tard, la grand-mère va voir une très grande maison. Voilà sa maison. En effet, il faut une grand-mère à Nyi Endit quoi? "" Je veux demander l'aumône », a déclaré la grand-mère." Ah grand-mère lui a demandé inutile, ga donnée aller. Si la grand-mère faim, la grand-mère pouvait manger à ma maison, mais sobre, "dit Nyi Asih." Pas besoin ", a déclaré la grand-mère. «Je veux juste savoir sa réaction si il ya des mendiants demandent l'aumône. Oh oui, s'il vous plaît vous dites à d'autres personnes de se préparer à évacuer. Parce que bientôt il y aura une grande inondation. "" Grandma plaisantez? "Dit choc Nyi Asih. "Là où il peut y avoir des inondations pendant la saison sèche." "Je ne plaisante pas", a déclaré la grand-mère. "Je suis celui qui donnerait des leçons sur Nyi Endit. Par conséquent mengungsilah immédiatement, apporter des objets de valeur sont à vous ", dit la vieille femme. Après que la grand-mère a meniggalkan Nyi Asih encore étourdi. Pendant ce temps Nyai Endit de savourer les plats abondants, ainsi que l'centengnya. Le mendiant arriva devant la maison Nyai Endit et directement confronté aux voyous. "Hé vieux mendiant! Sortez d'ici! Ne laissez pas ce porche sale a marché sur les pieds! "Snapped voyous." Je veux demander l'aumône. Il peut y avoir des restes de nourriture que je peux manger. Pendant trois jours, je ne mange pas ", a déclaré la grand-mère." Qu'est-ce que je me soucie ", claqua voyous. "Tout ce que je suis ton père? Si vous voulez acheter un repas, donc ne demandez pas! Là, un rapide aller avant que je traîne! "Mais la vieille femme ne bougeait pas à sa place. "Nyai Endit out! Je tiens à demander l'aumône. Nyai Endiiiit ...! "Criait la grand-mère, garde-garde essayait de faire glisser la grand-mère qui continuait de crier, mais il n'a pas fonctionné." Qui diable est de crier ", a déclaré gouvernante Endit. "Les gens Disturb manger!" "Hé ...! Qui êtes-vous vieille grand-mère? Pourquoi crier en face de la maison? "Snapped Nyai Endit." Je veux juste demander un peu de nourriture parce que cela fait trois jours que je ne mange pas ", a déclaré la grand-mère." Lah..ga manger la même je me demande pourquoi? Non! Sortez d'ici! Plus tard, beaucoup de mouches embrassèrent vous sentez ", a déclaré Nyai Endit. La grand-mère au lieu d'aller à la place, mais coincé son bâton dans le sol et regarda Nyai Endit furieusement." Hey Endit ..! Pendant ce temps, Dieu donne rijki abondante mais vous n'êtes pas reconnaissants. Vous avare! Alors que les villageois ont été affamés vous même gaspiller la nourriture "cria le feu de grand-mère. "Je suis venu ici comme une réponse aux prières des gens qui sont malheureux parce que de votre faire! Maintenant, être prêt à recevoir la peine. "" Ha ha ha ... Vous voulez me punir? Pas un de Ya? Vous ne voyez pas la garde-centengku beaucoup! Une fois à elle, tu serais mort », a déclaré Nyai Endit." Pas besoin de me dérange pas loin ", a déclaré la grand-mère. «Je vais aller à partir d'ici si vous pouvez révoquer mon bâton de la terre." "Grand-mère folle de base. Comment dur nyabut bâton. Sans aucun effort que je peux! "Dit Nyai Endit arrogant. Et puis hop! Nyai Endit essayé de tirer le bâton d'une main. Active sur le bâton ne bougeait pas. Il a essayé avec les deux mains. Hup hup! Encore ne bouge pas, aussi. "Merde!" Dit Nyai Endit. "Watchman! Déconnecter bâton à elle! Méfiez-vous jusqu'à ce que pas déracinés. Je coupe votre salaire! "Garde-garde essayait de sortir la grand-mère de bâton, mais si elle a été attirée par trois personnes, tiens il reste impassible." Ha ha ha ... vous ne réussissez pas? »Dit la grand-mère. "Apparemment, vous ne le faites pas comment le pouvoir. Voir que je tirerais ce bâton. "Brut! Avec une secousse, le bâton a été soulevé du sol. Byuuuuurrr !!!! Soudain, de l'ex-grand-mère tancapan bâton jaillir de l'eau est très rapide. "Endit! Ceci est la punition pour vous! Cette eau est les larmes des gens qui sont malheureux à cause de vous. Vous et tous vos biens seront submergés par l'eau! »Ayant dit cela, la vieille femme a soudainement disparu quelque part. Nyai rester Endit paniqué voir l'eau débordant abondamment. Elle a essayé de courir pour sauver sa propriété, mais l'inondation plus rapidement noyé avec sa propriété. Dans le village a maintenant formé un beau petit lac. Les gens l'appelaient 'Bagendit'. Cela signifie que le lac et Bagendit dérivé de Endit. Certaines personnes croient que, parfois, nous pouvons voir la chute du matelas au fond du lac. Il a dit qu'il est l'incarnation Nyai Endit étaient pas en mesure d'échapper à la crue de piège.

































































































Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
 
Bahasa lainnya
Dukungan alat penerjemahan: Afrikans, Albania, Amhara, Arab, Armenia, Azerbaijan, Bahasa Indonesia, Basque, Belanda, Belarussia, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Burma, Cebuano, Ceko, Chichewa, China, Cina Tradisional, Denmark, Deteksi bahasa, Esperanto, Estonia, Farsi, Finlandia, Frisia, Gaelig, Gaelik Skotlandia, Galisia, Georgia, Gujarati, Hausa, Hawaii, Hindi, Hmong, Ibrani, Igbo, Inggris, Islan, Italia, Jawa, Jepang, Jerman, Kannada, Katala, Kazak, Khmer, Kinyarwanda, Kirghiz, Klingon, Korea, Korsika, Kreol Haiti, Kroat, Kurdi, Laos, Latin, Latvia, Lituania, Luksemburg, Magyar, Makedonia, Malagasi, Malayalam, Malta, Maori, Marathi, Melayu, Mongol, Nepal, Norsk, Odia (Oriya), Pashto, Polandia, Portugis, Prancis, Punjabi, Rumania, Rusia, Samoa, Serb, Sesotho, Shona, Sindhi, Sinhala, Slovakia, Slovenia, Somali, Spanyol, Sunda, Swahili, Swensk, Tagalog, Tajik, Tamil, Tatar, Telugu, Thai, Turki, Turkmen, Ukraina, Urdu, Uyghur, Uzbek, Vietnam, Wales, Xhosa, Yiddi, Yoruba, Yunani, Zulu, Bahasa terjemahan.

Copyright ©2025 I Love Translation. All reserved.

E-mail: