Sebentar lagi Indonesia akan menghadapi tantangan baru dalam dunia perekonomian, sosial-budaya dan politik-keamanan yang dirangkumkan dalam 10 pilar agenda kawasan-kawasan se Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN.
Agenda yang digagas di Bali ini telah menyepakati beberapa agenda yang merupakan visi dari ASEAN untuk membangun kawasan ekonomi yang terintegrasi lewat Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ini berarti, dalam beberapa tahun kedepan Indonesia dan Negara-negara ASEAN lainnya akan meleburkan diri menjadi satu kesatuan teritorial dan pereekonomian. Di mana setiap bangsa didorong dalam kompetisi bebas tanpa ada lagi proteksi nasional.
Sekretaris Jenderal ASEAN, Le Luong Minh, mengatakan bahwa MEA ini sendiri akan membawa banyak manfaat bagi Negara-negara yang terintegrasi, seperti; turunnya angka kemiskinan, meningkatnya pertumbuhan investasi, peningkatan produk domestik bruto, mengurangi pengangguran, dan peningkatan angka didunia perdagangan. (Tempo.co, 6 Oktober 2014)
Benarkah demikian? Dengan disepakatinya MEA tersebut, menurut saya, ini adalah babak baru Indonesia dalam menghadapi keterjajahan di bidang ekonomi. Kerjasama ekonomi yang seharusnya menjadi landasan untuk masyarakat agar sejahtera malah menjadi ancaman peningkatan kemiskinan. Dampak kebijakan neoliberalisme yang diterapkan sudah sangat menjatuhkan tingkat kesejahteraan rakyat, kini ditambah lagi dengan agenda liberalisasi yang lebih luas dan mendalam melalui MEA.
Didalam rumusannya MEA mempunyai 4 (empat) pilar yang nantinya akan diberlakukaan diseluruh Negara yang tergabung di dalam ASEAN, yakni; 1) pasar tunggal dan basis produksi, 2) membangun kawasan ekonomi yang berdaya saing tinggi, 3) membangun kawasan dengan ekonomi yang merata, 4) membangun kawasan dengan integrasi penuh terhadap pereekonomian global. Lantas, apakah benar 4 (empat) pilar diatas dapat menyelematkan pereekonomian Indonesia dan mengurangi kemiskinan?
Seperti halnya Neoliberalisme, MEA tentu pada akhirnya akan mendatangkan dampak buruk bagi perekonomian nasional: hancurnya sektor produksi nasional (industri dan pertanian), pengangguran meningkat, meluasnya praktek upah murah, dan lain sebagainya. Karena itu, pemerintah harus berpikir ulang sebelum menjerumuskan Negara ini dalam perdagangan bebas berskala kawasan ini.
Ancamannya Bagi Perempuan.
Sejarah menunjukkan bahwa akar ketertindasan perempuan secara ekonomi, politik, dan sosial bermuasal dari penyingkiran kaum perempuan dari ruang dan penguasaan alat-alat produksi. Inilah menyebabkan perempuan kemudian digiring dalam ranah domestifikasi.
Anggapan sosial yang menempatkan perempuan sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam urusan domestik ini membawa dampak buruk bagi perempuan secara ekonomi. Tanpa akses langsung terhadap alat produksi dan sumber daya lainnya, perempuan menjadi paling rentan terhadap berbagai kebijakan ekonomi.
Berikut akan djelaskan beberapa agenda MEA yang nantinya akan menimbulkan ancaman-ancaman bagi kaum perempuan di Indonesia, antara lain: Pertama, pembangunan pasar tunggal menyebabkan adanya aliran bebas barang. Artinya, barang-barang dari berbagai Negara ASEAN lainnya akan bebas keluar masuk kedalam negeri untuk diperjual-belikan. Masalah akan muncul ketika produk-produk lokal tidak bisa bersaing dengan produk-produk luar, baik secara kulitas maupun harga. Ini akan menyebabkan kehancuran sektor produksi nasional, baik industri nasional berskala besar maupun kecil (UKM dan industri rumah tangga).
Perlu diketahui bahwa sebagian besar pelaku home industry dan UKM di Indonesia adalah kaum perempuan. Kementerian Pemberdayaan dan Perlindangan Perempuan menyebutkan bahwa sebanyak 60 % pelaku UKM di Indonesia adalah perempuan. Tentu dapat dibayangkan bagaimana imbasnya kebijakan ini terhadap perempuan, akan semakin menumpuknya jumlah pengangguran perempuan.
Yang kedua, liberalisasi pasar tenaga kerja yang berpotensi menyingkirkan tenaga kerja lokal. Di sini, tenaga kerja Indonesia akan dipaksa bersaing dengan tenaga kerja dari negara-negara ASEAN lainnya. Dalam hal ini, diperlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang terampil dan terdidik untuk siap-siap mengahadapi persaingan.
Masalahnya, HDI (Human Development Index) menunjukkan bahwa SDM Indonesia menempati peringkat ke 6 dibawah Negara-negara Asean lainnya, seperti Malaysia, Thiland, Brunei, Philipina, dan Singapore. Sementara itu, dari data Asian Productivity Organization (APO) mencatat, dari setiap 1.000 tenaga kerja Indonesia pada tahun 2012, hanya ada sekitar 4,3% tenaga kerja yang terampil. Jumlah itu kalah jauh dibandingkan dengan Filipina yang mencapai 8,3%, Malaysia 32,6%, dan Singapura 34,7%.
Satu hal yang digadang-gadangkan pemerintah untuk mengatasi hal ini adalah lewat jalur pendidikan dan pelatihan kerja. Masalahnya, pendidikan Indonesia juga mengalami keterpurukan. Tidak sedikit masyarakat Indonesia yang menghadapi benang kusut dalam menghadapi pendidikan yang sangat mahal harganya. Data Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan, hingga akhir tahun 2013, masih ada 3,6 juta penduduk Indonesia berusia 15-59 tahun yang buta huruf. Angka putus sekolah juga masih sangat tinggi. Anggaran pendidikan Indonesia masih terbilang terendah di dunia: anggaran pendidikan kita masih berkisar 3,41% dari PDB. Sedangkan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand masing-masing punya anggaran pendidikan sebesar 7,9% dan 5,0% dari PDB-nya. (Berdikari online, 2014)
Dalam konteks ini, kaum perempuan yang paling merasakan imbasnya terhadap kebijakan ini. Sebab, keterlibatan perempuan dalam dunia pendidikan relatih jauh lebih rendah ketimbang laki-laki. Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2004 menunjukkan bahwa penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang tidak/belum pernah sekolah jumlahnya dua kali lipat penduduk laki-laki (10,90 persen berbanding 4,92 persen). Penduduk perempuan usia 10 tahun ke atas yang buta huruf 11,71 persen, sedangkan penduduk laki-laki yang buta huruf 5,34 persen.
Pada situasi ini kaum perempuan akan dihadapkan pada dua pilihan yang sulit: menjadi pengangguran atau menjadi tenaga kerja murah. Malahan, karena kurangnya pengalaman pendidikan dan keterampilan, kaum perempuan cenderung diarahkan pada pekerjaan domestik yang sudah terkomersialkan, seperti seperti menjadi pembantu rumah tangga, perawat anak (babby sitter), perawat lansia, dan lain sebagainya.
Dari pemaparan diatas, jelas terlihat bahwa Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) membawa dampak yang negatif bagi rakyat Indonesia, khususnya kaum perempuan. Ancaman-ancaman yang ditimbulkan akan semakin memperparah kondisi buruk perempuan dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan politik.
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
