Stigma buruk terhadap kebijakan pejabat, tidak hanya di era sekarang, tapi sudah ada sejak zaman dulu. Bung Karno tak luput dari cercaan sebagian masyarakat yang tidak setuju dengan beberapa gagasan pembangunan sarana fisik. Pembangunan Tugu Monas, Hotel Indonesia, Sarinah, Semanggi, Stadion Senayan, Gedung Conefo (sekarang gedung DPR-MPR RI), dll, dianggap sebagai poyek mercu suar. Proyek yang menghambur-hamburkan uang negara.
Bukan Bung Karno kalau tidak berani menerjang badai. Ia –sebagai pemimpin– tak takut menabrak risiko. Sebagai Presiden, ia buka dada untuk semua suara protes. Tentu saja, semua kebijakan dan keputusan Bung Karno, saat ini kita cerna sebagai sebuah sejarah. Satu sejarah yang berikut adalah ihwal Jembatan Semanggi.
Pembangunan jembatan Semanggi merupakan satu paket dengan pembangunan fasilitas lain menyambut perhelatan Asian Games tahun 1962. Beberapa banguna lain yang dibangun serentak antara lain Gelora Senayan (sekarang bernama Gelora Bung Karno), Hotel Indonesia, dan lain sebagainya. Jembatan itu sendiri dimulai pembangunannya tahun 1961.
Ketika Presiden Sukarno telah mantap dengan idenya untuk membangun sebuah stadion olahraga megah di kawasan Senayan, Ir Sutami, yang ketika itu menjabat Menteri Pekerjaan Umum (PU), dalam sebuah rapat kabinet mengusulkan membangun jembatan guna mengatasi kemungkinan munculanya persoalan kemacetan lalu lintas.
Semanggi dipilih sebagai nama jembatan tersebut.
Semanggi sesungguhnya nama lokal (Jawa) tumbuhan marsilea mutica yang bisa dijadikan lalapan. Setiap tangkai daun semanggi terdiri atas empat helai daun berbentuk lonjong yang panjangnya mencapai dua cm dan lebar 1 cm.
Dalam satu kesempatan, Bung Karno sendiri pernah mengemukakan filosofi daun semanggi. Filosofi yang dimaksud adalah simbol persatuan, dalam bahasa Jawa ia menyebut “suh” atau pengikat sapu lidi. Tanpa “suh” sebatang lidi akan mudah patah. Sebaliknya, gabungan lidi-lidi yang diikat dengan “suh” menjadi kokoh dan bermanfaat menjadi alat pembersih.
Bung Karno sendiri, sejak perjuangan hingga menjadi pemimpin negeri, kepeduliannya sangat tinggi terhadap persatuan bangsa. Baginya, persatuan bangsa adalah sebuah harga mati.
Begitulah Bung Karno memfilosofikan jembatan semanggi yang berkonsep perempatan tanpa traffic light. Kini, Jembatan Semanggi telah menjadi sejarah, sekaligus saksi sejarah bagi banyak peristiwa penting negeri ini.
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..