Islamisasi ilmu pengetahuan telah menjadi proyek yang ambisius. Bukan semata-mata karena alasan gengsi, tetapi juga keterjajahan epistemologi.
Marilah kita sedikit berkontemplasi. Terminologi “Islamisasi ilmu pengetahuan” saja, menurut saya, adalah terminologi bermasalah. Pada masa klasik, tidak pernah muncul kodifikasi keilmuan dengan label agama. Para filosof muslim klasik tidak pernah terjangkiti sindrom seperti itu.
Proyek untuk membawa filsafat Yunani ke dunia Islam pada masa al-Kindi misalnya, tidak lantas membuat kalangan filosof Muslim melabeli filsafat dengan nama “filsafat Islam”. Cukup filsafat saja. Demikian juga yang berlaku di kalangan para ilmuwan muslim.
Problem label Islam pada ilmu, menurut saya baru terjadi pada periode modern. Pemikir-pemikir Muslim seperti Naquib al-Attas, Seyyed Hossein Nasr, Ismail al-Faruqi, Ziauddin Sardar, Abdus Salam, amal Mimouni, S. Waqar A. Husaini, Abu Sulayman, Taha J. al-Alwani, S. Parvez Manzoor, Munawar A. Anees hanya menyuarakan tata pola pemikiran dikhotomis yang sudah tersusun rapi. Sesungguhnya Orientalisme-lah yang menginjeksikan tata pikir dikotomis itu dalam pikiran umat Islam.
Hegemoni yang berlangsung ratusan tahun ini kemudian tampak alamiah. Umat Islam, tidak terkecuali kalangan intelektualnya, dikondisikan tidak bisa berpikir, kecuali dengan tata pikir dikotomi.
Proyek Islamisasi sains sesungguhnya setali tiga uang. Sadar ataupun tidak, proyek ini sejatinya merepresentasikan bagaimana hegemoni orientalisme masih mengakar kuat dalam struktur pikiran masyarakat intelektual muslim.
Tata pikir dikotomi memang canggih dalam menciptakan kesan, seakan-akan ilmu dimiliki oleh kebudayaan tertentu. Ilmu modern diidentikan dengan Barat. Lalu, di luar kategori Barat orang dipaksa membuat label lain. Seluruh kesadaran umat Islam dipaksa menjadi liyan dalam zona ilmu modern.
Demikianlah, orientalisme begitu canggih melokalkan yang universal. Begitupun, sebaliknya. Ilmu itu universal, dan dilokalkan menjadi seakan-akan milik Barat. Proyek Islamisasi sains melayani tata pikir semacam ini. Menurut saya, proyek ini tetap akan dalam labirin bila merayakan tata pikir dikotomi itu.
Jalan keluarnya menjadi jelas, kita harus kembali merayakan universalitas ilmu. Semua orang harus menjadi bagian dari masyarakat ilmu yang universal, dan bermental kosmopolitan. Itulah jalan keluar.
Spirit seperti inilah yang sedang dicoba untuk diretas di IAIN Tulungagung. Atas nama universalitas ilmu dan kosmopolitanisme, kami bangga mendeklarasikan diri sebagai kampus “Dakwah dan Peradaban”.
Ke mana muara proyek Islamisasi ilmu pengetahuan yang populer di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI)? Selama ini eksperimen untuk mewujudkan hal tersebut terus dicoba. Prosesnya berbelit dan berkelok, hampir hanyut dalam labirin.
Mimpi Islamisasi ilmu pengetahuan sudah sampai pada lahirnya konsep integrasi ilmu dan agama. Khazanah keilmuan Islam diharapkan bisa berdialog dengan ilmu-ilmu Barat yang sekuler. Mimpi ini sudah dibangun beberapa dekade terakhir, tapi hasil eksperimennya masih jauh panggang dari api.
Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, misalnya, sudah lama bereksperimen. Konsepnya mentereng: pohon ilmu. Secara filosofis, melalui konsep ini ingin menjadikan normativitas Islam sebagai dasar bagi semua orientasi pengembangan keilmuan. Inilah ciri khas yang, mungkin, membedakan UIN Malang dengan kampus PTKIN lainnya.
Benarkah ini model ideal integrasi sains? Saya ragu. Dalam praktiknya, konsep pohon ilmu itu telah jatuh menjadi labelisasi ilmu. Alih-alih menggelorakan semangat menyenyawakan tradisi keilmuan Islam dan ilmu sekular, jatuhnya justru memperpanjang cerita simbolisme: melabelkan ayat-ayat suci dalam neraca keilmuan.
UIN Surabaya punya cerita lain. Konsepnya jauh lebih mentereng, twin tower. Konsep ini bahkan dimanifestasikan dalam wujud gedung kampus yang 'angker'.
Persis seperti gambaran gedung itu, keilmuan Islam dan ilmu Barat adalah dua bangunan kokoh yang berbeda. Diniscayakan adanya jembatan yang memungkinkan dua tradisi keilmuan tersebut bisa berdialog, menuju proses integrasi.
Sayangnya, jembatan itu sampai saat ini tidak pernah definitif. Konsep integrasi ilmu menjadi lebih mentereng gedungnya daripada capaian epistemologisnya.
Pernah, suatu ketika saya berjumpa dengan para pejabat UIN Surabaya. Seperti biasa saya suka berseloroh, "bila UIN Surabaya membuat twin tower, maka IAIN Tulungagung ada Tukhin tower."
Tentu kalimat ini adalah candaan. Saya menyadari, IAIN Tulungagung juga bertanggung jawab mewujudkan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan mencapai wujud idealnya, yaitu keluar dari labirin.