Prabu KiansantangPrabu Kiansantang atau Raden Sangara atau Syeh Sunan  terjemahan - Prabu KiansantangPrabu Kiansantang atau Raden Sangara atau Syeh Sunan  Inggris Bagaimana mengatakan

Prabu KiansantangPrabu Kiansantang

Prabu Kiansantang

Prabu Kiansantang atau Raden Sangara atau Syeh Sunan Rohmat Suci, adalah Putra Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Raja Pakuan Pajajaran dengan Nyi Subang Larang, Pernikahan Prabu Siliwangi dengan Nyi Subang Larang dinikahkan oleh Syekh Quro Karawang. Dari pernikahan Sri Baduga Maharaja dengan Nyi Subang Larang dikarunia 3 orang putra yaitu :
1. Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana),
2. Rara Santang (ibu Sunan Gunung Jati)
3. Prabu Kiansantang.

Pada usia 22 tahun Prabu Kiansantang diangkat menjadi Dalem Bogor ke 2 yang saat itu bertepatan dengan upacara penyerahan tongkat pusaka kerajaan dan penobatan Prabu Munding Kawati, putra Sulung Prabu Susuk Tunggal, menjadi panglima besar Pajajaran. Guna mengenang peristiwa sakral penobatan dan penyerahan tongkat pusaka Pajajaran tersebut, maka ditulislah oleh Prabu Susuk Tunggal pada sebuah batu, yang dikenal sampai sekarang dengan nama Batu Tulis Bogor.

Peristiwa itu merupakan kejadian paling istimewa di lingkungan Keraton Pajajaran dan dapat diketahui oleh kita semua sebagai pewaris sejarah bangsa khususnya di Pasundan. Prabu Kiansantang merupakan sinatria yang gagah perkasa, tak ada yang bisa mengalahkan kegagahannya. Sejak kecil sampai dewasa yaitu usia 33 tahun, Prabu Kiansantang belum tahu darahnya sendiri dalam arti belum ada yang menandingi kegagahannya dan kesaktiannya di sejagat pulau Jawa.

Sering dia merenung seorang diri memikirkan, "Dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi kesaktian dirinya." Akhirnya Prabu Kiansantang memohon kepada ayahnya yaitu Prabu Siliwangi supaya mencarikan seorang lawan yang dapat menandinginya. Sang ayah memanggil para ahli nujum untuk menunjukkan siapa dan dimana ada orang gagah dan sakti yang dapat menandingi Prabu Kiansantang. Namun tak seorangpun yang mampu menunjukkannya.

Prabu Kiansantang dan Sayyidina Ali bin Abi Thalib

Tiba-tiba datang seorang kakek yang memberitahu bahwa orang yang dapat menandingi kegagahan Prabu Kiansantang itu adalah Sayyidina Ali, yang tinggal jauh di Tanah Mekah. Sebetulnya pada waktu itu Sayyidina Ali telah wafat, namun kejadian ini dipertemukan secara goib dengan kekuasaan Allah Yang Maha Kuasa.

Lalu orang tua itu berkata kepada Prabu Kiansantang, "Kalau memang anda mau bertemu dengan Sayyidina Ali harus melaksanakan dua syarat: Pertama, harus mujasmedi dulu di ujung kulon. Kedua, nama harus diganti menjadi Galantrang Setra (Galantrang - Berani, Setra - Bersih-Suci). Setelah Prabu Kiansantang melaksanakan dua syarat tersebut, maka berangkatlah dia ke tanah Suci Mekah.

Setiba di tanah Mekah dia bertemu dengan seorang lelaki yang disebut Sayyidina Ali, namun Kiansantang tidak mengetahui bahwa laki-laki itu bernama Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang yang namanya sudah berganti menjadi Galantrang Setra menanyakan kepada laki-laki itu, "Kenalkah dengan orang yang namanya Sayyidina Ali?" Laki-­laki itu menjawab bahwa ia kenal, malah bisa mengantarkannya ke tempat Sayyidina Ali.

Sebelum berangkat laki-laki itu menancapkan dulu tongkatnya ke tanah, yang tak diketahui oleh Galantrang Setra. Setelah berjalan beberapa puluh meter, Sayyidina Ali berkata, "Wahai Galantrang Setra tongkatku ketinggalan di tempat tadi, coba tolong ambilkan dulu." Semula Galantrang Setra tidak mau, namun Sayyidina Ali mengatakan, "Kalau tidak mau ya tentu tidak akan bertemu dengan Sayyidina Ali."

Terpaksalah Galantrang Setra kembali ke tempat bertemu, untuk mengambilkan tongkat. Setibanya di tempat tongkat tertancap, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sebelah tangan, dikira tongkat itu akan mudah lepas. Ternyata tongkat tidak bisa dicabut, malahan tidak sedikitpun berubah. Sekali lagi dia berusaha mencabutnya, tetapi tongkat itu tetap tidak berubah. Ketiga kalinya, Galantrang Setra mencabut tongkat dengan sekuat tenaga dengan disertai tenaga bathin. Tetapi dari pada kecabut, malahan kedua kaki Galantrang Setra amblas masuk ke dalam tanah, dan keluar pulalah darah dari seluruh tubuh Galantrang Setra.
Tongkat Ali bin Abu Thalib yang dihadiahkan pada Rakeyan Sancang yang berada di Kaum Pusaka (Yayasan Pusaka Muslimin diketuai Ucep Jamhari) Cinunuk Garut

Ternyata laki-laki yang baru dikenalnya tadi namanya Sayyidina Ali. Setelah Prabu Kiansantang meninggalkan kota Mekah untuk pulang ke Tanah Jawa (Pajajaran) dia terlunta-lunta tidak tahu arah tujuan, maka dia berpikir untuk kembali ke tanah Mekah lagi. Maka kembalilah Prabu Kiansantang dengan niatan akan menemui Sayyidina Ali dan bermaksud masuk agama Islam. Prabu Kiansantang masuk agama Islam, dia bermukim selama dua puluh hari sambil mempelajari ajaran agama Islam. Kemudian dia pulang ke tanah Jawa (Pajajaran) untuk menengok ayahnya Prabu Siliwangi dan saudara-saudaranya. Setibanya di Pajajaran dan bertemu dengan ayahnya, dia menceritakan pengalamannya selama bermukim di tanah Mekah serta pertemuannya dengan Sayyidina Ali. Pada akhir ceritanya dia memberitahukan dia telah masuk Islam dan berniat mengajak ayahnya untuk masuk agama
0/5000
Dari: -
Ke: -
Hasil (Inggris) 1: [Salinan]
Disalin!
Prabu KiansantangPrabu Kiansantang or Raden Sangara or Sheikh Sunan Rohmat, was the son of Prabu Siliwangi Sri Baduga Maharaja or King of Pakuan Pajajaran with Nyi Subang Larang Wedding Prabu Siliwangi with Nyi Subang Forbid marriage by Shaykh Quro Karachi. Sri Baduga Maharaja marriage with Nyi Subang had Her 3 sons namely:1. Walangsungsang (Prince Cakrabuana),2. Rara Santang (mother of Sunan Gunung Jati)3. King Kiansantang.At the age of 22, Kiansantang was appointed Servants Bogor to 2 then coincides with the handover ceremony of the Royal heirloom sticks and Coronation of King's oldest son, Kawati She Prabu Susuk Tunggal, became Commander of the Pajajaran. In order to commemorate the events of sacred coronation and inheritance of the Pajajaran baton handover, then and there by Prabu Susuk Tunggal in a stone, known until now with the name Slate Bogor.It is the most special events in Pajajaran Palace environment and be known by all of us as heir to the nation's history, especially in Pasundan. Prabu Kiansantang is sinatria are mighty, nothing can beat his strength. Since childhood to adult i.e. age 33 years, Prabu Kiansantang not yet know his own blood in the sense that there has been no match for his strength and his universal on the island of Java.Often she is brooding alone thought, "where are the people of brave and Milky magical power that can rival him." Eventually King Kiansantang begged his father, namely King Siliwangi in order to find an opponent who can outmatch. Her father summoned the astrologers to indicate who and where are the people of brave and Milky that can rival the King Kiansantang. But no one is able to show it.Prabu Kiansantang and Sayyidina Ali Ibn Abi TalibAll of a sudden came a grandfather who tells that one who can rival the grandeur of Prabu Kiansantang it was Sayyidina Ali, who lives deep in the land of Mecca. Actually at that time Sayyidina Ali had died, but this incident is reunited in goib with the power of God Almighty.Then the old man said to the King Kiansantang, "If you want to meet with Sayyidina Ali should carry out two conditions: first, it must be mujasmedi first in ujung kulon. Second, the name should be changed to Galantrang Setra (Galantrang-bold, Setra-clean). After Prabu Kiansantang carry out two terms, then he went to the Holy Land of Mecca.Arriving in the land of Mecca he met a man called Sayyidina Ali, but Kiansantang did not know that the man was named Sayyidina Ali. Prabu Kiansantang whose name had already been changed into Galantrang Setra asked the man, "Do with people whose names are Sayyidina Ali?" The man replied that he was familiar with, and even be delivered to the place of Sayyidina Ali.Before leaving the man stuck his stick on the ground, used to be unknown by Galantrang Setra. After walking several tens of meters, Sayyidina Ali said, "o Galantrang Setra my staff missed out in mosques, trying to please bring me first." Originally Galantrang, but do not want the Setra Sayyidina Ali says, "if ya don't want to of course will not meet with Sayyidina Ali."Terpaksalah Galantrang Setra back into place to meet, to get the stick. Upon arrival at the place of sticks plugged into, Galantrang Setra unplug the stick with the next hand, counted the wand it would be easy. It turns out that cane can not be revoked, not even the slightest change. Once again he attempted to pulled it out, but the rod remains unchanged. The third time, Setra Galantrang unplug the stick with all his might with spiritual power is accompanied. But on the second leg, even kecabut Galantrang Setra vanish goes into the ground, and blood will come out of the whole body Galantrang Setra.Tongkat Ali bin Abu Talib who was gifted at Rakeyan Sancang residing in the House of the inheritance (inheritance of Muslims Foundation chaired Ucep Jamhari) Cinunuk ArrowrootIt turns out that a male acquaintance last name Sayyidina Ali. After Prabu Kiansantang left Mecca to go home to Java (Pajajaran) he terlunta-lunta not know the direction of the destination, then she is thinking of going back to the land of Mecca again. Then the King returned with Kiansantang this will meet Sayyidina Ali and intend to enter Islam. Prabu Kiansantang entered the Islamic religion, he lived for twenty days while studying the teachings of the Islamic religion. Then he returned to Java (Pajajaran) for access to her father, Prabu Siliwangi and brothers. Upon arrival at the Pajajaran and meet with his father, he recounts his experiences during the settled in the land of Mecca and his encounter with Sayyidina Ali. At the end of the story he tells he has converted to Islam and intends to invite his father to enter religion
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
Hasil (Inggris) 2:[Salinan]
Disalin!
Kiansantang Prabu Prabu Kiansantang or Raden Sangara or Syeh Sunan Holy Rohmat, is the son of King Siliwangi or Baduga Sri Maharaja Raja pakuan pajajaran with Nyi Subang Disallow, Marriage King Siliwangi with Nyi Subang Disallow married by Sheikh Quro Karawang. Of marriage Baduga Maharaja Sri Subang Disallow Nyi endowed with three sons namely: 1. Walangsungsang (Prince Cakrabuana), 2. Rara Santang (mother Sunan Gunung Jati) 3. King Kiansantang. At age 22, King Kiansantang appointed Dalem Bogor to 2 when it coincides with a baton handover ceremony royal heritage and the coronation of King Munding Kawati, eldest son of King Implant Single, become a great commander Padjadjaran. To commemorate the sacred coronation and delivery of cane heirloom Padjadjaran, then ditulislah by King Implant Single on a rock, known until now by the name of Slate Bogor. The incident is an occurrence of the most privileged in the palace Pajajaran and can be known by all of us as heir the history of the nation, especially in Sundanese. King Kiansantang is SINATRIA mighty, nothing can beat kegagahannya. From childhood to adulthood is the age of 33 years, King Kiansantang not know his own blood in the sense that no one has match kegagahannya and his power in the universal Java. Often he mused alone to think, "Where are the strong and powerful that can match the magic itself." Finally King Kiansantang begged his father is King Siliwangi in order to find an opponent that can match it. The father called the astrologers to show who and where there is a strong and powerful man who can rival King Kiansantang. But no one is able to show it. King Kiansantang and Sayyidina Ali ibn Abi Talib Suddenly there came an old man who tells that person that can match the valor of King Kiansantang it is Sayyidina Ali, who lived far away in the land of Mecca. Actually, at the time of Sayyidina Ali had died, but this incident met in goib with the power of God Almighty. Then the old man said to King Kiansantang, "If you want to meet with Sayyidina Ali had to carry out two conditions: First, should mujasmedi first at the west end. Secondly, the name should be changed to Galantrang Setra (Galantrang - Dare, Setra - Net-Saints). After King Kiansantang carry out two conditions, then went him to the Holy Land of Mecca. When they arrived in the land of Mecca he met a man who called Sayyidina Ali, but Kiansantang not know that the man named Sayyidina Ali. King Kiansantang whose name has been changed to Galantrang Setra asked the man, "Kenalkah with the person whose name Sayyidina Ali?" The man replied that he know, could even deliver it to where Sayyidina Ali. Before leaving the man first stuck his stick into the ground, which is not known by Galantrang Setra. After walking a few hundred meters, Sayyidina Ali said, "O Galantrang Setra miss my wand in the other, will you please get me first." Setra Galantrang originally did not want, but Sayyidina Ali said, "If you do not want yes of course will not meet with Sayyidina Ali." Forced to Galantrang Setra back into place to meet, to fetch a stick. On arrival at the place sticks stuck, unplug Setra Galantrang stick with one hand, thought it would be easy to take the stick. It turns out the stick can not be revoked, not even the slightest change. Once again he tried to pull it out, but the stick remains unchanged. The third time, Galantrang Setra revoke stick with a vengeance, accompanied by spiritual power. But from the kecabut, even legs Galantrang Setra vanish into the ground, and out also the blood of the whole body Galantrang Setra. Tongkat Ali bin Abu Talib awarded on Rakeyan Sancang located at The Heritage Foundation (Heritage Muslims headed UCEP Jamhari) Cinunuk Garut It turns out that men who just knew his name was Sayyidina Ali. After King Kiansantang left the city of Mecca to return to the land of Java (Padjadjaran) he was stranded not know the destination, then he thinks back to the land of Mecca again. Kiansantang King then returned with the intention of going to see Sayyidina Ali and intends to convert to Islam. King Kiansantang convert to Islam, he lived for twenty days while studying the teachings of Islam. Then he returned to the land of Java (Padjadjaran) to visit his father King Siliwangi and his brothers. On arrival in Pajajaran and met his father, he told of his experiences during the live in the land of Mecca and meeting with Sayyidina Ali. At the end of the story he tells he had converted to Islam and intends to invite his father to convert

























Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
 
Bahasa lainnya
Dukungan alat penerjemahan: Afrikans, Albania, Amhara, Arab, Armenia, Azerbaijan, Bahasa Indonesia, Basque, Belanda, Belarussia, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Burma, Cebuano, Ceko, Chichewa, China, Cina Tradisional, Denmark, Deteksi bahasa, Esperanto, Estonia, Farsi, Finlandia, Frisia, Gaelig, Gaelik Skotlandia, Galisia, Georgia, Gujarati, Hausa, Hawaii, Hindi, Hmong, Ibrani, Igbo, Inggris, Islan, Italia, Jawa, Jepang, Jerman, Kannada, Katala, Kazak, Khmer, Kinyarwanda, Kirghiz, Klingon, Korea, Korsika, Kreol Haiti, Kroat, Kurdi, Laos, Latin, Latvia, Lituania, Luksemburg, Magyar, Makedonia, Malagasi, Malayalam, Malta, Maori, Marathi, Melayu, Mongol, Nepal, Norsk, Odia (Oriya), Pashto, Polandia, Portugis, Prancis, Punjabi, Rumania, Rusia, Samoa, Serb, Sesotho, Shona, Sindhi, Sinhala, Slovakia, Slovenia, Somali, Spanyol, Sunda, Swahili, Swensk, Tagalog, Tajik, Tamil, Tatar, Telugu, Thai, Turki, Turkmen, Ukraina, Urdu, Uyghur, Uzbek, Vietnam, Wales, Xhosa, Yiddi, Yoruba, Yunani, Zulu, Bahasa terjemahan.

Copyright ©2024 I Love Translation. All reserved.

E-mail: