Berdasarkan peta topographis Bureu

Berdasarkan peta topographis Bureu Batavia tahun 1903, kawasan ini memang sudah dikenal dengan nama Pluit atau Fluit. Dalam bahasa Belanda, Fluit bisa diartikan sebagai suling atau Pluit yang kerap dibunyikan wasit dalam sebuah pertandingan. Bisa juga berarti roti panjang yang sempit. Meski memiliki berbagai arti seperti yang disebut di atas, namun nama kawasan Pluit sama sekali tidak memiliki hubungan harfiah seperti itu.

Dalam catatan sejarawan Betawi, Alwi Shahab, nama Pluit mulai terkenal ketika pasukan Belanda menghadapi serangan Kesultanan Banten, tahun 1660. Kala itu, pasukan Belanda menggunakan sebuah kapal rusak untuk menghambat pasukan Kesultanan Banten yang menyerang dari arah barat Jakarta. “Pasukan Belanda meletakan sebuah kapal lurus panjang (Fluitship) bernama Het Witte Paert di kali Muara Angke. Kapal itu sudah tidak laik untuk digunakan melaut,” tulis Alwi Shahab.

Oleh pasukan Belanda, Fluitship digunakan untuk menopang benteng Vijhoek di pinggir Kali Grogol sebelah timur kali Angke. Fluiship digunakan untuk menahan serangan sporadis yang dilakukan pasukan Kesultanan Banten dalam beberapa tahun. Oleh masyarakat setempat, lokasi itu kemudian dikenal dengan sebutan De Fluit. Dalam perkembangan zaman dan disesuaikan dengan lidah orang Melayu, lambat laun berubah menjadi Pluit. Setelah masa kemerdekaan, masih dalam catatan Alwi Shahab, jejak keberadaan kapal Fluitship yang dijadikan kubu sudah tidak terlihat.

Begitu pula dengan keberadaan Benteng Vijhoek yang sudah tidak tersisa. Kini, di sepanjang sisi Kali Grogol, dipasang pagar besi dan keberadaan jalan layang (fly over) turut mengubur keberadaan benteng yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa. Kawasan Pluit yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara menjadi salah satu kawasan hunian elit di ibukota. Selain perumahan elit, kini kawasan Pluit yang berbatasan dengan Teluk Jakarta di sebelah utara, Kelurahan Kapuk di sebelah timur dan Kelurahan Penjaringan di sebelah Barat.

Tidak seperti kawasan Jakarta lainnya, tidak banyak warga asli Jakarta alias Betawi yang menetap di Pluit. Warga Betawi tidak terlalu mengakar seperti di kawasan Kemang, Kebayoranbaru, atau pun beberapa kawasan lain yang banyak dihuni warga Betawi. Pluit kini banyak dihuni oleh para pendatang, seperti warga keturunan Tionghoa yang banyak membuka usaha di pusat perbelanjaan Glodok

Hasil (Inggris) 1:

Based on map topographis Bureu of Batavia in 1903, this region has been known as Pluit or Fluit. In the language of the Netherlands, could be interpreted as Fluit distilled or Pluit which often sounded the referee in a match. It could also mean a long narrow loaves. Despite having different meanings as mentioned above, however the region name Pluit have absolutely no relation literally like that.In the records of the historian Betawi, Alwi Shahab, the name of the major fame while the Netherlands face the attacks of the Sultanate of Banten, the year 1660. At that time, the Netherlands use a damaged ship to inhibit the Sultanate of Banten forces attacking from the West Jakarta. "The Netherlands Troops put a long straight (Fluitship) named Het Witte Paert in Muara Angke times. The ship was already not be eligible for use on the ocean, "wrote Alwi Shahab.By the Netherlands, Fluitship used to prop up the fortress of Vijhoek on the edge of time the Grogol East times Angke. Fluiship is used to hold sporadic attacks done the Sultanate of Banten forces within a few years. By the local community, the location was later known as De Fluit. In the development of the times and adapted to the tongue of the Malays, gradually turned into a Major. After independence, still in existence, trace Alwi Shahab Fluitship ship that made a stronghold already invisible.Begitu pula dengan keberadaan Benteng Vijhoek yang sudah tidak tersisa. Kini, di sepanjang sisi Kali Grogol, dipasang pagar besi dan keberadaan jalan layang (fly over) turut mengubur keberadaan benteng yang tidak bisa dipisahkan dari sejarah bangsa. Kawasan Pluit yang masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara menjadi salah satu kawasan hunian elit di ibukota. Selain perumahan elit, kini kawasan Pluit yang berbatasan dengan Teluk Jakarta di sebelah utara, Kelurahan Kapuk di sebelah timur dan Kelurahan Penjaringan di sebelah Barat.Tidak seperti kawasan Jakarta lainnya, tidak banyak warga asli Jakarta alias Betawi yang menetap di Pluit. Warga Betawi tidak terlalu mengakar seperti di kawasan Kemang, Kebayoranbaru, atau pun beberapa kawasan lain yang banyak dihuni warga Betawi. Pluit kini banyak dihuni oleh para pendatang, seperti warga keturunan Tionghoa yang banyak membuka usaha di pusat perbelanjaan Glodok

Hasil (Inggris) 2:

Based on the map topographis Bureu Batavia in 1903, this area was already known by the name of Pluit or Fluit. In Dutch, Fluit can be interpreted as the flute or Pluit often sounded the referee in a match. It could also mean long narrow bread. Although it has various meanings as mentioned above, but the name Pluit area did not have such a literal relationship. In Betawi historian notes, Alwi Shahab, Pluit name became famous when the Dutch troops face attacks Banten Sultanate, in 1660. At that time, the troops Netherlands use a damaged vessel to inhibit the Sultanate of Banten forces attacking from the west of Jakarta. "Dutch forces put a long straight vessel (Fluitship) named Het Witte Paert at times Muara Angke. The vessel had not suitable for use at sea, "wrote Alwi Shahab. By the Dutch troops, Fluitship used to prop Vijhoek fortress on the edge of Grogol east times Angke. Fluiship used to hold sporadic attacks carried Sultanate of Banten forces within a few years. By the local community, the location was then known as De Fluit. In the times and adapted to the Malay tongue, slowly turned into Pluit. After independence, is still in the record Alwi Shahab, the trace presence Fluitship ship that made ​​the camp has not been seen. Similarly, the presence of Fort Vijhoek that has not left. Now, along the side of Grogol, installed iron fence and the presence of overpasses (flyovers) helped bury the existence of the fort that can not be separated from the history of the nation. Pluit area included in the administrative area of Penjaringan, North Jakarta became one of the elite residential area in the capital. In addition to housing the elite, now Pluit area bordering the Bay of Jakarta in the north, Village Kapok in the east and the west in the Networking Village. Unlike other Jakarta area, not many Native Jakarta alias Betawi who settled in Pluit. Betawi people are not too entrenched as in Kemang, Kebayoranbaru, or some other inhabited areas Betawi people. Pluit now inhabited by migrants, as many Chinese people to open a business in the shopping center Glodok