Dalam Agama lain pun berpandangan sama Gereja Katolik, misalnya, tetap mempertahankan doktrinnya yang menolak praktik homoseksual. Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan keputusan bertajuk ”The Vatican Declaration on Sexual Ethics.” Isinya, antara lain menegaskan: ”It (Scripture) does attest to the fact that homosexual acts are intrinsically disordered and can in no case be approved of.” Dalam Pidatonya pada malam Tahun Baru 2006, Paus Benediktus XVI juga menegaskan kembali tentang terkutuknya perilaku homoseksual. Sekalipun di kalangan mereka ada yang sefaham terutama dari golongan Kaum Yahudi Liberal, juga Kristen Liberal, sudah lama menghalalkan perkawinan sesama jenis. Mereka juga menyatakan, bahwa apa yang mereka lakukan adalah sejalan dengan ajaran Bibel. Mereka pun menuduh kaum Yahudi dan Kristen lain sebagai ”ortodoks”, ”konservatif” dan sejenisnya, karena tidak mau mengakui dan mengesahkan praktik homoseksual. Secara sosiologis, bisa saja orang bilang sebagai mana yang dilansir Koran The Jakarta Post mengutip pendapat seorang pembicara bernama Nurofiah, yang menyatakan, bahwa pandangan dominan dalam masyarakat Islam tentang heterogenitas adalah sebuah “konstruksi sosial”, sehingga berakibat pada pelarangan homoseksualitas oleh kaum mayoritas. Ini sama dengan kasus ”bias gender” akibat dominasi budaya patriarki. Karena itu, katanya, akan berbeda jika yang berkuasa adalah kaum homoseks. Lebih tepatnya, dikutip ucapan aktivis gender ini: “Like gender bias or patriarchy, heterogeneity bias is socially constructed. It would be totally different if the ruling group was homosexuals.”Sesungguhnya tidaklah demikian sebagaimana diungkap kaum liberal dalam konteks budaya patriarki sebagai sub system social. Dalam teori sosiologi, ‘kontruksi sosial’ akan terbangun dengan adanya stratifikasi social yang bermula dari peran social berbagai individu yang berinteraksi di dalamnya. Adapun jenis individu yang berinteraksi itu adanya dua macam (QS. Anisa) Tidak disebutkan adanya jenis setengah laki-laki atau setengah perempuan atau sejenis untuk bepasangan. Dan, suatu pandangan yang “mengada-ada” jika kaum homoseks dapat menjadi lebih dominan dan berkuasa kemudian sisten social itu akan berbalik.Dalam konteks budaya, fenomena social lesbi dan homo sesungguhnya adalah sebuah “endemic” yang harus dicarikan solusi pengobatan bukan mencarikan legitimasi pada hukum agama dengan memaknai akidah yang tak lazim untuk ‘menghalalkan’ perkawinan sejenis.Sebagai umat beragama “rahmatan lil alamin” dalam konteks social dapat mengapresiasi keberadaan itu. Tetapi tidak dalam aspeks peribadatan sebuah perkawinan. Mungkin, di sini peran negara diperlukan, kepastian hukum perkawinan berdasarkan peraturan perundang-ungan pemerintah. Bukan lagi masalah halal atau tidaknya, karena pandangan agama mayoritas secara tegas menolak.
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..