Aku terdiam sepi, membeku di sudut ruangan yang seharusnya ramai. Perlahan air mataku meleleh. Mungkin, aku memang tidak terlalu kuat untuk menghadapi semua ini sendiri. Pikiranku mulai melayang-layang ke masa lalu, tepatnya setahun silam saat usiaku genap 16 tahun. Hari itu hari yang cerah, namun Aku masih bermalas-malasan di ranjang empuk berselimut tebal itu.“Lia, bangun sayang sudah pagi,” suara Mama yang lembut dari luar ruangan memanggil namaku, Lia Amalia.“Hari ini kan hari Minggu, libur Ma.” Sekilas aku melirik jam kesayanganku yang sudah menunjukkan 6, aku hanya menarik selimut dan tidur lagi.“Sayang kamu tidak mau kan Papa pulang dan melihat anaknya masih tidur kan?.” Mama mendekatiku. Kata-kata itu cukup ampuh untuk membuat mataku terbelalak kaget.“Benar Ma!”“Iya sayang, makannya ayo lekas bangun dan mandi, bajunya Mama taruh di kursi.” Mama mengelus rambutku yang masih acak-acakan dan berlalu dari kamarku. Aku melangkah menuju kamar mandi dengan irama menari-nari bahagia. Ku kenakan baju baru berwarna ungu muda dengan pita kuning.—“Sayang kamu cantik sekali.” Mama memelukku dari belakang dan aku tersenyum manja.“Terimakasih Ma, Mama juga cantik.” Mama tersenyum padaku.“Ayo sayang kita tunggu Papa pulang.” Aku menunggu di ruang tengah, di kursi yang aku duduki sekarang. Entah apa yang Mama lakukan di dapur, aku dibiarkan duduk sendiri. Tiba-tiba terdengar suara mama dan papa dari belakang “Happy birthday to you…” . Aku baru ingat hari ini adalah hari ulang tahunku yang ke-16. Mereka terus melantunkan lagu yang sama setiap tanggal 11 Desember pasti aku dengarkan dari mereka tanpa kecuali. Mungkin kecuali saat ini dan… seterusnya, entahlah… Aku menghambur ke arah mereka. Papa memelukku dan mengucapkan selamat ulang tahun dengan nada yang sangat lembut.“Sayang, Papa punya sesuatu untukmu.” Papa menyodorkan kotak kecil berwarna ungu muda, Sebuah kalung dengan gantungan namaku “LIA AMALIA”. Aku menangis terharu, bahagia.“Lia Mama juga punya hadiah untukmu.” Sebuah boneka panda yang tingginya sepinggangku menjadi kado dari Mama untukku.“Ma, Lia sayang Mama, seharusnya Mama dan Papa tidak perlu memberiku kado, apalagi kado yang mahal seperti ini. Kehadiran Mama dan Papa di sisiku saat ini dan seterusnya adalah hadiah terindah yang pernah diberikan kepadaku.” Sungguh saat itu aku begitu bahagia. Tak ada kata-kata yang pantas untuk melukiskan kebahagiaanku. Ya… kebahagian itu, kebahagiaan yang kini tinggal kenangan, dan entah kapan akan terulang lagi.Tiga bulan menjelang ulang tahunku yang ke-17 Papa mulai jarang telepon ke rumah. Aku tidak berani bertanya apa alasan Papa jarang telepon. Aku hanya berkesimpulan Mungkin Papa SIBUK!.Papa pulang sebulan setelah komunikasi mulai renggang, tepatnya dua bulan mendekati sweet seventeenku. Kepulangan Papa kali ini berbeda dengan kepulangan-kepulangan sebelumnya. Wajah Papa murung. Mama juga tidak menyambut Papa dengan hangat seperti biasanya. Hanya senyum yang dipaksakan di hadapanku.Sejak kepulangan Papa ke rumah, kami lebih banyak diam. Aku merasa kesepian seperti hidup sendiri. Keributan–keributan kecil mulai sering terdengar antara Mama dan Papa. Jika sudah begitu yang ku lakukan hanya masuk kamar. Meskipun begitu, mataku tak pernah bisa terpejam. Aku tak ingin mendengar orang yang kusayangi bertengkar Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut Papa kecuali “Aku minta cerai!” Papa dan mama meninggalkan rumah. Aku genggam tangan Papa dan mama. Papadan mama menatapku dengan senyuman yang terpaksa sementara aku masih sesenggukan.“Papa pasti kembali menjemputmu.” Hari demi hari ku tunggu kepulangan Papa dan Mama tidak kunjung datang
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
