Pada Januari 2001, Gus Dur mengumum

Pada Januari 2001, Gus Dur mengumumkan bahwa Tahun Baru Imlek menjadi hari libur opsional. Tindakan ini diikuti dengan pencabutan larangan penggunaan huruf Tionghoa. Gus Dur lalu mengunjungi Afrika Utara dan juga Arab Saudi untuk naik haji. Abdurrahman Wahid melakukan kunjungan terakhirnya ke luar negeri sebagai presiden pada Juni 2001 ketika ia mengunjungi Australia.

Pada pertemuan dengan rektor-rektor universitas pada 27 Januari 2001, Gus Dur menyatakan kemungkinan Indonesia masuk kedalam anarkisme. Ia lalu mengusulkan pembubaran DPR jika hal tersebut terjadi. Pertemuan tersebut menambah gerakan anti-Wahid. Pada 1 Februari, DPR bertemu untuk mengeluarkan nota terhadap Gus Dur. Nota tersebut berisi diadakannya Sidang Khusus MPR dimana pemakzulan Presiden dapat dilakukan. Anggota PKB hanya bisa walk out dalam menanggapi hal ini. Nota ini juga menimbulkan protes di antara NU. Di Jawa Timur, anggota NU melakukan protes di sekitar kantor regional Golkar. Di Jakarta, oposisi Gus Dur turun menuduhnya mendorong protes tersebut. Gus Dur membantah dan pergi untuk berbicara dengan demonstran di Pasuruan. Namun, demonstran NU terus menunjukkan dukungan mereka kepada Gus Dur dan pada bulan April mengumumkan bahwa mereka siap untuk mempertahankan Gus Dur sebagai presiden hingga mati.

Pada bulan Maret, Gus Dur mencoba membalas oposisi dengan melawan disiden pada kabinetnya. Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra dicopot dari kabinet karena ia mengumumkan permintaan agar Gus Dur mundur. Menteri Kehutanan Nurmahmudi Ismail juga dicopot dengan alasan berbeda visi dengan Presiden, berlawanan dalam pengambilan kebijakan, dan diangap tidak dapat mengendalikan Partai Keadilan, yang pada saat itu massanya ikut dalam aksi menuntut Gus Dur mundur. Dalam menanggapi hal ini, Megawati mulai menjaga jarak dan tidak hadir dalam inaugurasi penggantian menteri. Pada 30 April, DPR mengeluarkan nota kedua dan meminta diadakannya Sidang Istimewa MPR pada 1 Agustus.

Gus Dur mulai putus asa dan meminta Menteri Koordinator Politik, Sosial, dan Keamanan (Menko Polsoskam) Susilo Bambang Yudhoyono untuk menyatakan keadaan darurat. Yudhoyono menolak dan Gus Dur memberhentikannya dari jabatannya beserta empat menteri lainnya dalam reshuffle kabinet pada tanggal 1 Juli 2001. Akhirnya pada 20 Juli, Amien Rais menyatakan bahwa Sidang Istimewa MPR akan dimajukan pada 23 Juli. TNI menurunkan 40.000 tentara di Jakarta dan juga menurunkan tank yang menunjuk ke arah Istana Negara sebagai bentuk penunjukan kekuatan. Gus Dur kemudian mengumumkan pemberlakuan dekret yang berisi (1) pembubaran MPR/DPR, (2) mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dengan mempercepat pemilu dalam waktu satu tahun, dan (3) membekukan Partai Golkar sebagai bentuk perlawanan terhadap Sidang Istimewa MPR. Namun dekret tersebut tidak memperoleh dukungan dan pada 23 Juli, MPR secara resmi memakzulkan Gus Dur dan menggantikannya dengan Megawati Sukarnoputri. Abdurrahman Wahid terus bersikeras bahwa ia adalah presiden dan tetap tinggal di Istana Negara selama beberapa hari, namun akhirnya pada tanggal 25 Juli ia pergi ke Amerika Serikat karena masalah kesehatan

Hasil (Inggris) 1:

In January 2001, Wahid announced that the Lunar New Year holiday to be optional. This action followed by the lifting of a ban on the use of Chinese characters. Wahid visited Northern Africa as well as Saudi Arabia for the Hajj. Wahid made his last overseas visit in June 2001 when he visited Australia.At a meeting with the Rector of the University Rectors on 27 January 2001, Wahid said Indonesia is likely to enter into anarchism. He then proposed the dissolution of the HOUSE of REPRESENTATIVES if this occurs. The meeting adds to the movement of anti-Wahid. On 1 February, the DPR met to issue a memorandum against Wahid. The memorandum contains the holding of a special session of the MPR where the impeachment of the President can do. PKB members could only walk out in response to this. This memorandum also caused protests among NU. In East Java, NU members protested in the vicinity of the regional offices of Golkar. In Jakarta, Wahid's opposition down accusing him of encouraging the protests. Wahid denied it and went to talk to the demonstrators in Pasuruan. However, NU protesters continued to show their support for Wahid and in April, announced that they were ready to defend and die for the President.In March, Wahid tried to retaliate against disiden opposition to the Cabinet. The Minister of Justice and human rights Yusril Ihza Mahendra was removed from the Cabinet because he announced the request to Wahid's opposition. Minister of forestry Nurmahmudi Ismail was also removed for reasons different from the vision, in contrast with the President in making policy, and diangap cannot control the Justice Party, which at that time took part in the mass action demanding Wahid step down. In response to this, Megawati began to distance herself and did not attend the inauguration of the replacement of the Minister. On April 30, the DPR issued a second memorandum and ask for the holding of the MPR special session on August 1.Wahid began to despair and asked the Coordinating Minister of political, social, and security (the Coordinating Minister for Politics) Susilo Bambang Yudhoyono to declare a State of emergency. Yudhoyono refused and Wahid removed him from Office, along with four other Ministers in a cabinet reshuffle on July 1, 2001. Finally on 20 July, Amien declared that the MPR special session will be brought forward to July 23. TNI 40,000 troops in Jakarta and also lower the tank pointing in the direction of the Presidential Palace as a form of appointment powers. Wahid then announced the enactment of decrees which contain (1) the dissolution of the MPR/DPR, (2) to return sovereignty to the people's hands by accelerating the election within one year, and (3) freeze Golkar as a form of resistance to the MPR special session. But the decree did not gain support and on 23 July, the MPR unanimously voted to impeach Wahid and to replace him with Megawati as President. Wahid continued to insist that he was the President and stayed in the Presidential Palace for several days, but on 25 July he went to the United States because of health problems