Tlatah Yawadwîpa satu setengah abad di ujung milenium pertama berakhir. Pada waktu itu, telah berdiri tegak sebuah kerajaan besar. Kerajaan itu tercatat dengan nama kerajaan Medang atau Mataram Kuno. Catatan lain menyebutnya dengan Bhumi Mataram. Kerajaan itu telah tegak berdiri sejak abad kedelapan, menguasai tanah Yawadwîpa selama tiga abad, yakni sejak abad kedelapan hingga abad kesebelas. Pendiri Kerajaan Bhumi Mataram adalah Raka i Mataram Ratu Sanjaya (1). Sanjaya merupakan putra Sannaha, adik perempuan dari Raja Sanna yang memerintah Yawadwipa sebelum Sanjaya. Jadi, Sanjaya merupakan penerus Raja Sanna. Pada masa pemerintahan Ratu Sanjaya, Kerajaan Bhumi Mataram memiliki pusat pemerintahan di kota Mataram. Di bawah kekuasaan Ratu Sanjaya, pemerintahan Bhumi Mataram berjalan adil dan bijaksana sehingga rakyat dapat hidup dengan aman dan tentaram. Sanjaya merupakan Sanjaya Wamçakarta atau Sang Pendiri Wangsa Sanjaya (2).Ratu Sanjaya merupakan raja penganut yang taat terhadap ajaran Hindu, dengan sistem pemujaan diberikan kepada Dewa Siwa sebagai dewa tertinggi. Sebagai penganut Hindu Siwa yang taat, Ratu Sanjaya berupaya memajukan agama Hindu dengan mendatangkan pendeta-pendeta Hindu beraliran Siwa ke Yawadwipa.Setelah lebih dari dua dasawarsa memerintah, Raka i Mataram Ratu Sanjaya digantikan oleh Raka i Tejah Purnapana Panangkaran (3). Raka i Panangkaran semasa mudanya bernama Dyah Pancapana dan disebut-sebut sebagai Sailendrawangsatilaka (permata Wangsa Sailendra) (4). Saat memerintah Bhumi Mataram, Raka i Panangkaran (760-775 Masehi) dikatakan memeluk Buddha Mahayana dan membangun pembangunan Candi Kalasan. Sejak Raka i Panangkaran berkuasa terungkap bahwa pada puncak kekuasaan di Yawadwipa terjadi pergeseran kepercayaan dari semula penganut Hindu Siwa menjadi Buddha Mahayana. Diakui atau tidak, Bhumi Mataram Bhumi Mataram terbagi ke dalam dua aliran agama besar, yaitu: penganut Hindu Siwa di bagian utara Bhumi Mataram dan penganut Buddha di bagian selatan Bhumi Mataram. Dua aliran agama tersebut merupakan dua kekuatan besar di Yawadwipa saat itu. Dalam perjalanannya, dua aliran agama besar itu terus bersaing untuk tampil sebagai penyangga utama keyakinan dari penguasa di Bhumi Mataram. Persaingan itu begitu mendalam, berurat-akar dan beranak-pinak menjangkau ke pusat kekuasaan di Yawadwipa. Bahkan, persaingan tampil dalam bentuk benturan-benturan kekuatan, yang bukan tidak mungkin melibatkan angkatan perang yang berada di bawah kekuatan dan kekuasaan yang bersaing. As successor to the throne of the Raka i Bhumi Mataram, Panangkaran's next featured Sri Maharaja Rakai Panunggalan (775-800 a.d.). (5) before the reigning Sri Maharaja Rakai, Panunggalan has the name Dharanindra. This ruler is believed to have successfully expanded its territory up to the Sailendras Peninsula Malaya and Indochina mainland. He hailed as Wairiwarawiramardana (who fought the enemies of officers) (6) and bears a title of other Sri Sanggrama Dhananjaya. Bhumi Mataram ruler about doing outward conquest Yawadwipa (i.e. against Sriwijaya, Ligor, Champa, and Cambodia), referred to by the nickname Wirawairimathana (7) (murderer of enemy Heroes) and Sarwwarimadawimathana (8) (murderer of an arrogant enemies are not left). The third nickname has the same meaning. With the conquest of conquests that do prove that Bhumi Mataram has built a fleet of sea power. Bhumi Mataram ruler managed to develop expertise in the field of maritime shipping, in particular, that allows to transport a number of soldiers to fight and control areas outside Java, even beyond the borders of the country. Dalam penaklukan tersebut, Kerajaan Bhumi Mataram telah mampu mengubah sistem perkapalan dari jenis kapal layar kayu bercadik ganda (kapal Borobudur) menjadi kapal-kapal berukuran lebih besar dengan tiga atau empat layar. Jenis kapal yang terakhir ini disebut sebagai Kapal Jung. Konstruksi Kapal Jung sangat unik. Lambung kapal sangat kokoh, karena terbuat dari papan berlapis empat, dan dibentuk sebagai menyambungkan papan-papan pada lunas kapal. Sambungan-sambungan itu disatukan dengan pasak kayu tanpa menggunakan kerangka, baut, atau paku besi. Ujung haluan dan buritan kapal berbentuk lancip. Kapal ini dilengkapi dengan dua batang kemudi menyerupai dayung, serta layar berbentuk segi empat. Bobot kapal Jung rata-rata sekitar enam ratus ton.Pesisir utara Yawadwipa tengah merupakan pusat armada laut Bhumi Mataram. Salah satu bandar terbesar adalah Bergota (9) yang menjadi bandar utama Kerajaan Bhumi Mataram. Bandar ini menjadi titik keberangkatan armada laut Bhumi Mataram untuk berlayar ke mancanegara. Sebagai bandar besar di Yawadwipa, Bergota tidak hanya menjadi tempat berlabuh kapal-kapal nusantara, namun juga kapal asing dari berbagai negeri dan menjadi pintu gerbang jalur perniagaan mancanegara. Melalui bandar Bergota, Bhumi Mataram mengekspor beras dan mengimpor kain katun cetak dari India, Cina dan kerajaan-kerajaan lain di luar nusantara.Dengan kekuatan yang dimiliki, Bhumi Mataram memiliki lebih dari satu bandar. Agak di sebelah barat bandar Bergota, ada bandar bernama Poe-Chue-Lang (10) yang merupakan bandar penting tempat singgahnya kapal-kapal niaga. Bandar ini tidak dibangun secara permanen, hanya sebagai sandaran kapal-kapal yang bersifat sementara. Bandar ini merupakan titik awal dari jalur yang menjadi urat nadi untuk menghubungkan wilayah utara dan selatan di masa Bhumi Mataram. Lalu di sebelah timur bandar Bergota, juga terdapat bandar lain dengan akar tradisi maritim yang kuat (11). Bandar ini cukup ramai dilintasi oleh perahu-perahu atau kapal-kapal yang dipergunakan sebagai sarana transportasi perdagangan Kerajaan Bhumi Mataram. Keberadaan bandar-bandar tersebut menjadi penopang utama sistem ekonomi maritim di Bhumi Mataram. Melalui bandar-bandar, penerapan teknik pembuatan kapal atau perahu, Kerajaan Bhumi Mataram telah melepas diri dari belenggu isolasi samudra, membuka komunikasi, dan berinteraksi dengan bangsa lain. Perairan utara Yawadwipa telah menjadi jalur lalu lintas pelayaran yang ramai bagi Kerajaan Bhumi Mataram.Grandeur, greatness and influence of Bhumi Mataram penetrate past the boundaries of the country. Traces of Bhumi Mataram outside nusantara recorded in a number of evidence. The evidence in the form of a relationship with Mataram Bhumi Governments outside the archipelago. Recorded in the year 741 a.d., Amoghavajra (12) Buddhist monks from the Tang dynasty ever stopped to Yawadripa when I travel to Sri Lanka and India to obtain and collect a number of Buddhist scriptures which will be brought to China and translated. The ride was done on the orders of the Emperor of China. Amoghavajra was forced to stop at Yawadwipa to avoid conflicts that occur between the Bhumi Mataram with Sriwijaya.Next said that pupil Amoghavajra has many in China. Wrong pupil Amoghavajra was leading Huiguo (746-796 CE). Huiguo continue the teachings of Amoghavajra. and is known as the main teacher who also has many students from various Nations. Among his disciples recorded Huiguo Bianhong originating from Yawadwipa. Bianhong arrived in Chang'an, the capital of the Tang dynasty Empire, in 780 ad. In 767 Ce mentioned that Chopo (13) attacked the Tonkin (Annam) but repulsed by the Chinese Governor named Chang Po-Yi. In the year 768-770 A.d., probably during the reign of Maharaja Rakai Panangkaran Dyah Pancapana (746 – 784 ad) came a Messenger from Yawadwipa to Tang dynasty China. Messenger of the year A.d. 768 likely peace gestures or indemnity on behalf of Yawadwipa. Hubungan antara penguasa Yawadwipa dengan Kekaisaran Cina terus berlanjut. Ini dibuktikan dengan beberapa catatan yang mengabarkan datangnya utusan dari Yawadwipa ke Cina. Pertama, pada tahun 813 Masehi, 815 Masehi, 818 Masehi dan 820 Masehi penguasa di tanah Yawadwipa, kemungkinan pada masa Maharaja Rakai Warak Dyah Manara (803-827 Masehi), mengirim utusan ke Dinasti Tang. Kedua, pada tahun 831 Masehi dan 839 Masehi penguasa Yawadwipa atau Shepo, kemungkinan pada masa Maharaja Rakai Garung (828-847 Masehi), kembali mengirim utusan ke Dinasti Tang China. Kedatangan utusan dari Yawadwipa ke Cina pada tahun 813 Masehi dicatat cukup panjang lebar. Dikatakan utusan itu datang memberikan hadiah berupa budak Seng qi (Jenggi) kepada Kaisar Dinasti Tang Cina. Jenggi merupakan orang kulit hitam yang berasal dari Afrika. Nama Jenggi juga tercantum dalam daftar abdi dalam prasasti Jawa Kuno tahun 860 Masehi. Budak Jenggi tersebut dikirim dari Afrika ke Jawa bahkan ada yang dikirim ke Cina (14). Hubungan penguasa Yawadwipa di masa Bhumi Mataram tidak terbatas dengan penguasa di Cina. Jejak kekuasaan Bhumi Mataram di Yawadwipa juga terlacak di Kamboja atau Khmer. Tahun 790 Masehi, penguasan Yawadwipa menyerang dan menaklukkan Kerajaan Chenla Air di Kamboja (15). Baru pada tahun 802 Masehi, Jayavarman II menyatakan diri sebagai raja Kamboja dan diakui secara luas sebagai pendiri Kerajaan Khmer dan memulai periode Angkor dalam sejarah Kamboja. Akan tetapi harus dicatat bahwa Jayavarman II pernah tinggal di Yawadwipa pada masa kekuasaan wangsa Sailendra atau “Para Raja Gunung”. Kerajaan Hindu Champa di Vietnam pun menyebut dan mengakui kebesaran dan kejayaan Yawadwipa pada abad kesembilan. Kerajaan Hindu Champa tersebut pernah mencatatkan perjalanan seorang pejabat pengadilan tingginya ke Yawadwipa dalam rangka memperoleh pengetahuan esoterik. Ini menunjukkan bahwa Kerajaan Hindu Champa mengakui bahwa Yawadwipa merupakan pusat dari “ilmu sihir” (siddhiyantra) (16).
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
