MENYIKAPI PANDANGAN PROF. MUSDAH MULIA TENTANG PERKAWINAN SEJENIS DI I terjemahan - MENYIKAPI PANDANGAN PROF. MUSDAH MULIA TENTANG PERKAWINAN SEJENIS DI I Inggris Bagaimana mengatakan

MENYIKAPI PANDANGAN PROF. MUSDAH MU

MENYIKAPI PANDANGAN PROF. MUSDAH MULIA TENTANG PERKAWINAN SEJENIS DI INDONESIA.
Bagaimana sebaiknyanya seorang beragama menyikapi berbagai perbedaan keyakinan di negara ini yang memiliki berbagai macam kepercayaan dan agama?
Bermula dari pandangan Prof. Musdah Mulia, guru besar dan dosen pasca sarjana Universitas Islam negeri, Jakarta, sejak ‘insident’ beberapa tahun lalu pada seminar perempuan tingkat nasional bertema “Adilkah Bangsa dan Agama Terhadapmu” di Gedung Mulo, Jl Sungai Saddang, Makassar, Senin (30/5/2011) dan beberapa tulisan pada buku yang diberi judul Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam (KHI). maupun makalah yang mengharamkan poligami, memberi masa iddah bagi laki-laki, menghilangkan peran wali nikah bagi mempelai wanita, menghalalkan perkawinan sejenis, menuai 'kontroversial'.
Melandasi konsep pemikirannya, menurut Musdah Mulia, intisari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi social atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini, Lebih jauh ia katakan, bahwa homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah. “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.” (There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based on their piety).
Demikian pendapat guru besar UIN Jakarta ini pada diskusi yang diselenggarakan suatu organisasi bernama “Arus Pelangi”, di Jakarta.
“Menurut prof. Musdah Mulia, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang given atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat kontruksi manusia. Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima. (Sumber: Majalah Tabligh DTDK PP Muhammadiyah, 2008)
Pandangan ini sebagai kajian ilmu pengetahuan adalah masuk akal karena konsep demikian terbentuk dari metodologi logika keilmuan sebagai orasi dalam ranah budaya. Masih bisa dipahami. Dapat dikatakan demikian karena kebudayaan merupakan hasil rekadaya “cipta, rasa, dan karsa” manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang dapat bersifat up to date.
Tetapi, manakala biasnya mengkritisi masuki dalam ranah hukum agama tentu akan menuai “badai”. Umat beragama Islam berpandangan berdasarkan Qur’an dan Hadist, bahwa agama Islam adalah “rahmatan lil Alamin” , benar adanya. Namun dalam konteks peribadatan -Habblur minullah, humumnya sudah tidak bisa diutik-utik lagi dimaknai lain dengan menggunakan ‘nalar’ sebagaimana dalam kebudayaan manusia.
Kalangan umat beragama bersikukuh bahwa teks suci tidak bisa dimaknai berlandaskan perkembangan kebudayaan. Teks suci keberadaanya berasal dari Wahyu Illahi yang dijaga kesamaan penafsirannya dari sejak diturunkannya hingga kini. Karena itu, para mufassir al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti Prof. Musdah Mulia yang berani menghalalkan homoseksual.
Pandangan Prof. Musdah harus kita hargai sebagai pandangan kebudayaan yang mengajak umat beragama untuk bersikap toleransi kepada sesama umat. Ini sudah benar. Tetapi, manakala memberikan pengesyahan sebuah perkawinan sejenis dengan mengurai dalil teks suci, bisa jadi pandangannya telah tergelincir masuk dalam ‘kubangan’ golongan orang yang ingkar. Amir Syarifuddin, pengurus MUI, menyatakan bahwa praktik homoseksual adalah dosa. “Kami tidak akan menganggap homoseksualitas sebagai musuh, tetapi kami akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah,” kata Amir Syarifudin.
Dalam Islam, soal homoseksual ini sudah jelas hukumnya. Nabi Muhammad saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah.

Dalam Agama lain pun berpandangan sama Gereja Katolik, misalnya, tetap mempertahankan doktrinnya yang menolak praktik homoseksual. Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan keputusan bertajuk ”The Vatican Declaration on Sexual Ethics.” Isinya, antara lain menegaskan: ”It (Scripture) does attest to the fact that homosexual acts are intrinsically disordered and can in no case be approved of.” Dalam Pidatonya pada malam Tahun Baru 2006, Paus Benediktus XVI juga menegaskan kembali tentang terkutuk

0/5000
Dari: -
Ke: -
Hasil (Inggris) 1: [Salinan]
Disalin!
MENYIKAPI PANDANGAN PROF. MUSDAH MULIA TENTANG PERKAWINAN SEJENIS DI INDONESIA.Bagaimana sebaiknyanya seorang beragama menyikapi berbagai perbedaan keyakinan di negara ini yang memiliki berbagai macam kepercayaan dan agama?Bermula dari pandangan Prof. Musdah Mulia, guru besar dan dosen pasca sarjana Universitas Islam negeri, Jakarta, sejak ‘insident’ beberapa tahun lalu pada seminar perempuan tingkat nasional bertema “Adilkah Bangsa dan Agama Terhadapmu” di Gedung Mulo, Jl Sungai Saddang, Makassar, Senin (30/5/2011) dan beberapa tulisan pada buku yang diberi judul Counter Legal Draft (CLD) Kompilasi Hukum Islam (KHI). maupun makalah yang mengharamkan poligami, memberi masa iddah bagi laki-laki, menghilangkan peran wali nikah bagi mempelai wanita, menghalalkan perkawinan sejenis, menuai 'kontroversial'.Melandasi konsep pemikirannya, menurut Musdah Mulia, intisari ajaran Islam adalah memanusiakan manusia dan menghormati kedaulatannya. Mengutip QS 49 ayat 3, Musdah menyatakan, salah satu berkah Tuhan adalah bahwasanya semua manusia, baik laki-laki atau wanita, adalah sederajat, tanpa memandang etnis, kekayaan, posisi social atau pun orientasi seksual. Karena itu, aktivis liberal dan kebebasan beragama dari ICRP (Indonesia Conference of Religions and Peace) ini, Lebih jauh ia katakan, bahwa homoseksualitas adalah berasal dari Tuhan, dan karena itu harus diakui sebagai hal yang alamiah. “Tidak ada perbedaan antara lesbian dengan non-lesbian. Dalam pandangan Tuhan, manusia dihargai hanya berdasarkan ketaatannya.” (There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based on their piety).Demikian pendapat guru besar UIN Jakarta ini pada diskusi yang diselenggarakan suatu organisasi bernama “Arus Pelangi”, di Jakarta.“Menurut prof. Musdah Mulia, yang dilarang dalam teks-teks suci tersebut lebih tertuju kepada perilaku seksualnya, bukan pada orientasi seksualnya. Mengapa? sebab, menjadi heteroseksual, homoseksual (gay dan lesbi), dan biseksual adalah kodrati, sesuatu yang given atau dalam bahasa fikih disebut sunnatullah. Sementara perilaku seksual bersifat kontruksi manusia. Jika hubungan sejenis atau homo, baik gay atau lesbi sungguh-sungguh menjamin kepada pencapaian-pencapaian tujuan dasar tadi maka hubungan demikian dapat diterima. (Sumber: Majalah Tabligh DTDK PP Muhammadiyah, 2008)Pandangan ini sebagai kajian ilmu pengetahuan adalah masuk akal karena konsep demikian terbentuk dari metodologi logika keilmuan sebagai orasi dalam ranah budaya. Masih bisa dipahami. Dapat dikatakan demikian karena kebudayaan merupakan hasil rekadaya “cipta, rasa, dan karsa” manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya yang dapat bersifat up to date.Tetapi, manakala biasnya mengkritisi masuki dalam ranah hukum agama tentu akan menuai “badai”. Umat beragama Islam berpandangan berdasarkan Qur’an dan Hadist, bahwa agama Islam adalah “rahmatan lil Alamin” , benar adanya. Namun dalam konteks peribadatan -Habblur minullah, humumnya sudah tidak bisa diutik-utik lagi dimaknai lain dengan menggunakan ‘nalar’ sebagaimana dalam kebudayaan manusia.Kalangan umat beragama bersikukuh bahwa teks suci tidak bisa dimaknai berlandaskan perkembangan kebudayaan. Teks suci keberadaanya berasal dari Wahyu Illahi yang dijaga kesamaan penafsirannya dari sejak diturunkannya hingga kini. Karena itu, para mufassir al-Quran selama ratusan tahun tidak ada yang berpendapat seperti Prof. Musdah Mulia yang berani menghalalkan homoseksual. Pandangan Prof. Musdah harus kita hargai sebagai pandangan kebudayaan yang mengajak umat beragama untuk bersikap toleransi kepada sesama umat. Ini sudah benar. Tetapi, manakala memberikan pengesyahan sebuah perkawinan sejenis dengan mengurai dalil teks suci, bisa jadi pandangannya telah tergelincir masuk dalam ‘kubangan’ golongan orang yang ingkar. Amir Syarifuddin, pengurus MUI, menyatakan bahwa praktik homoseksual adalah dosa. “Kami tidak akan menganggap homoseksualitas sebagai musuh, tetapi kami akan membuat mereka sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah salah,” kata Amir Syarifudin. Dalam Islam, soal homoseksual ini sudah jelas hukumnya. Nabi Muhammad saw bersabda, “Siapa saja yang menemukan pria pelaku homoseks, maka bunuhlah pelakunya tersebut.” (HR Abu Dawud, at-Tirmizi, an-Nasai, Ibnu Majah, al-Hakim, dan al-Baihaki). Imam Syafii berpendapat, bahwa pelaku homoseksual harus dirajam (dilempari batu sampai mati) tanpa membedakan apakah pelakunya masih bujangan atau sudah menikah. Dalam Agama lain pun berpandangan sama Gereja Katolik, misalnya, tetap mempertahankan doktrinnya yang menolak praktik homoseksual. Tahun 1975, Vatikan mengeluarkan keputusan bertajuk ”The Vatican Declaration on Sexual Ethics.” Isinya, antara lain menegaskan: ”It (Scripture) does attest to the fact that homosexual acts are intrinsically disordered and can in no case be approved of.” Dalam Pidatonya pada malam Tahun Baru 2006, Paus Benediktus XVI juga menegaskan kembali tentang terkutuk
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
Hasil (Inggris) 2:[Salinan]
Disalin!
PROF their outlook. Musdah Mulia KIND OF MARRIAGE IN INDONESIA.
How sebaiknyanya a religion addressing the differences in belief in this country that has a wide range of belief and religion?
Starting from the view of Prof. Musdah Mulia, professors and postgraduate teacher state Islamic University, Jakarta, since 'no incidents' a few years ago at the national level women's seminar entitled "Is it fair to you Nation and Religion" in Mulo Building, Jl Sungai Saddang, Makassar, Monday (30/5 / 2011) and some writing on a book entitled Counter Legal Draft (CLD) Islamic Law Compilation (KHI). and papers which forbids polygamy, gave the prescribed period for men, eliminating the role of guardians for the bride, allowed same-sex marriage, reaping 'controversial'.
underlies the concept of thinking, according to Musdah Mulia, the essence of the teachings of Islam is to humanize human beings and respect for sovereignty. Citing QS 49, paragraph 3, Musdah stated, one of the blessings of God is that all people, whether male or female, are equal, regardless of ethnicity, wealth, social position or sexual orientation. Therefore, liberal activists and religious freedom of the ICRP (Indonesian Conference of Religions and Peace), the further he said, that homosexuality is derived from God, and therefore must be recognized as a natural thing. "There is no difference between the non-lesbian lesbian. In the view of God, man appreciated only by obedience. "(There is no difference between lesbians and nonlesbians. In the eyes of God, people are valued based on their Piety).
Thus the opinion of professor of UIN Jakarta at the discussion organized by an organization called "Arus Pelangi", in Jakarta.
"According to prof. Musdah Mulia, which is prohibited in the sacred texts are more drawn to their sexual behavior, not sexual orientation. Why? because, being heterosexual, homosexual (gay and lesbian), and bisexuality is a natural, something given or in the language of fiqh are called the laws. While sexual behavior is a human construction. If same-sex relationships or gay, whether gay or lesbian earnestly ensure the achievements of the basic goal was then relationships can be accepted. (Source: Magazine Tabligh DTDK PP Muhammadiyah, 2008)
views this as the study of science is absurd because such concepts are formed from the logic of scientific methodology as an oration in the realm of culture. They can be understood. It could be argued that because culture is the result of rekadaya "idea, feeling, and intention" man in meeting their needs to be up to date.
However, when the bias is criticized enter the realm of the law will certainly reap the "storm". Islamic religious groups argued by the Koran and Hadith, that Islam is "rahmatan lil Alamin", is true. But in the context of worship -Habblur minullah, humumnya can no longer interpreted diutik-utik another by using the 'reason' as in human culture.
Among religious people insist that the sacred text can not be interpreted based on the development of culture. Sacred texts existence comes from divine revelation guarded interpretation of similarity since the revelation until now. Therefore, the commentators of the Koran for hundreds of years no one argues like Prof. Musdah Mulia who dare justify homosexual.
The views Prof. Musdah we must respect as cultural view which invites religious communities to be tolerant to other people. This is correct. However, when giving pengesyahan a same-sex marriage to parse the arguments of the sacred text, so his eyes could have slipped into the 'puddle' among those who disbelieve. Amir Syarifuddin, MUI, declared that homosexual practice is a sin. "We would not regard homosexuality as an enemy, but we will make them realize that what they are doing is wrong," said Amir Syarifuddin.
In Islam, it is already clear about homosexual laws. Prophet Muhammad said, "Anybody who finds gay male perpetrators, then kill the culprit." (Abu Dawud, at-Tirmidhi, an-Nasai, Ibn Majah, al-Hakim, and al-Baihaki). Imam Shafi'i argued that homosexuals should be stoned (stoned) regardless of whether the perpetrator was single or married. In other religion also share his view of the Catholic Church, for example, retaining the doctrine rejecting homosexual practice. In 1975, the Vatican issued a decree titled "The Vatican Declaration on Sexual Ethics." It contained, among other things asserts: "It (Scripture) does attest to the fact that homosexual acts are intrinsically disordered and can in no case be approved of." In a speech on New Year's Eve, 2006, Pope Benedict XVI also reaffirmed damned



Sedang diterjemahkan, harap tunggu..
 
Bahasa lainnya
Dukungan alat penerjemahan: Afrikans, Albania, Amhara, Arab, Armenia, Azerbaijan, Bahasa Indonesia, Basque, Belanda, Belarussia, Bengali, Bosnia, Bulgaria, Burma, Cebuano, Ceko, Chichewa, China, Cina Tradisional, Denmark, Deteksi bahasa, Esperanto, Estonia, Farsi, Finlandia, Frisia, Gaelig, Gaelik Skotlandia, Galisia, Georgia, Gujarati, Hausa, Hawaii, Hindi, Hmong, Ibrani, Igbo, Inggris, Islan, Italia, Jawa, Jepang, Jerman, Kannada, Katala, Kazak, Khmer, Kinyarwanda, Kirghiz, Klingon, Korea, Korsika, Kreol Haiti, Kroat, Kurdi, Laos, Latin, Latvia, Lituania, Luksemburg, Magyar, Makedonia, Malagasi, Malayalam, Malta, Maori, Marathi, Melayu, Mongol, Nepal, Norsk, Odia (Oriya), Pashto, Polandia, Portugis, Prancis, Punjabi, Rumania, Rusia, Samoa, Serb, Sesotho, Shona, Sindhi, Sinhala, Slovakia, Slovenia, Somali, Spanyol, Sunda, Swahili, Swensk, Tagalog, Tajik, Tamil, Tatar, Telugu, Thai, Turki, Turkmen, Ukraina, Urdu, Uyghur, Uzbek, Vietnam, Wales, Xhosa, Yiddi, Yoruba, Yunani, Zulu, Bahasa terjemahan.

Copyright ©2024 I Love Translation. All reserved.

E-mail: