Menyikapi, Pandangannya Agama dan Budaya Prof. Jeffrey Lang .Tak pernah ada habisnya untuk bicara menguraikan Agama dan Kebudayaan. Betul, ungkap professor Jeffrey Lang Seorang Muallaf Amerika, bahwa nilai agama sebagian bisa penetrasi dengan Kebudayaan tapi tidak seluruhnya di semua tempat. Perbedaan pandangan itu, sejak dulu disadari bahwa sesungguhnya karena yang mendasarinya adanya perbedaan sistem metodologi keduanya yang berbeda. Agama, diterapkan secara dogmatis berdasarkan Wahyu – yang jujur saja di kalangan intelektual mengatakan identik mimpi. Sementara kebudayaan selalu uptodate karena merupakan cara manusia menyikapi kehidupam dalam rangka menyesuaikan kebutuhannya.Sebagai pemeluk agama, semestinya harus fanatic karena doktrin agama dilakukan secara dogmatis yang tujuannya untuk mempertebal keimanan. Percaya, dan yakin. Itulah dasarnya, nggak pakai dinalar-nalar lagi sebagaimana kaum orientalis. Dalam konteks peribadatan ketika menjalankan ritual, Saya sangat setuju orang untuk fanatic. Suatu contoh, sebagai analogi ‘Assalamu’alaikum tidak bisa diganti dengan ucapan lain ketika orang sedang menjalankan sholat. Tapi, dalam konteks kebudayaan, bisa saja orang mengucapkanan kalimat itu mengganti dengan “campurasun, misalnya mertamu pada orang Sunda. Atau, ‘kula nuwun’. dsb. Secara sosiologis, ucapaan itu, mengandung insinuasi yang akan berkembang maknanya sejalan dengan konteks kebudayaan. Misalnya, bahasa “kulonuwun’ sebagaimana diucapkan orang jawa ketika bertamu, kini menjadi tidak popular karena banyaknya para – maaf – pengemis mengetuk pintu mengunakan ucapan itu. Menjadikan orang ‘risih menggunakan kata itu kedengarannya “kulonyuwun”. Dalam, agama tidak bisa kata memiliki pergeseran makna. Itulah perbedaan agama dan kebudayaan.Soal berpakaian bagi perempuan muslim bagai mana pantasnya, kalau memang secara syari’ simpang siur sebagai pegangan yang mendasarinya sehingga berkesan ‘memaksakan’, silahkan aja yang perempuan untuk memilih maunya bagaimana. Karena saya memiliki tradisi bukan tipe sebagaimana seorang bupati di Aceh yang lihat perempuan tidak menutup semua auratnya lantas ingin memperkosa.Istri saya sejak remaja berpakaian muslim “brukut” hanya kelihatan matanya tok ketika berpenampilan di luar. Tapi, orang lain tidak tahu – dulu aku juga – kalau istri ku itu rambutnya dicat merah seperti kyaine dulu ketika masih muda ‘gondrong’ dicat merah pentas ‘ngerock’ sama aku. Pada awal “buka duren”, penganten baru sedikit terkejut lihat rambutnya ternyata dicat itu. Pikirku, Siapa yang akan lihat, setiap hari pakai kerudung ? Diam-diam saya merasa kasihan, sesungguhnya secara kodrati kaum hawa ingin ‘pamer’ yang dimiliki untuk disanjung, dan dipuja. Di negara-negara Arab yang mayoritas muslim melarang kaum hawa untuk tidak menutup aurat dimuka umum. Para ulama menguatirkan jika standar berpakaian bagi kaum hawa ini ‘dilonggarkan. akan menimbulkan kekacauan. “Para ulama Saudi mengetahui betul kebudayaan mereka dan merekalah yang paling mengetahui efek pelonggaran dari standar ini pada masyarakat Saudi. Akan tetapi, orang-orang Barat mengalami kesulitan dalam memahami banyak hal yang dikemukakan oleh para ulama Saudi.’ Demikian prof Jeffry mengeluhkan.. Mengurai agama dengan kebudayaan memang tak semudah verbalisme’. Jujur saja, pemahaman dan perilaku kaum muslim tidak akan terlepas dari konteks kebudayaan. Agama didalam konsep kebudayaan menurut Profesor Koentjaraningrat merupakan sub system riligi, kepercayaan dari keseluruhan cara hidup manusia. Semua bentuk yang dihasilkan dari cara hidup manausia itulah system kebudayaan, demikian Koentjaraningrat mengklasifikasikan dalam disiplin ilmunya abtropologi budaya yang dulu pernah kaum beragama salah faham dikira agama itu sama dengan kebudayaan. Jadi, semua perilaku yang bersifat agamis tidak dapat diubah oleh perkembangan kebudayaan dalam konteks peribadatan. Sementara, perilaku kebudayaan selalu uptodate karena sejalan dengan pemenuhan kebutuhan kehidupan. Itulah, adanya Agama dan Budaya.. Setuju? Mari……, toossss !!!
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..