Membungkam Rasa Disudut itu, ya tepat disamping rerimbunan Asoka itu biasa kau termangu. Aku tak pernah benar-benar punya keberanian untuk keluar dari sudut ruang kelas ini untuk menghampirimu dan mengatakan betapa matamu berpendar lembut kala lembar demi lembar kertas tergores oleh ujung penamu, menciptakan mahakarya yang kau nikmati sendiri. Tahun-tahun yang kulewati dalam persembunyian ini, kali pertama menjadi murid baru disekolah berada satu ruangan saat masa orientasi tak membuatmu menyadari keberadaanku, aku duduk tepat disampingmu dan kau terus tenggelam dalam lembaran kertas dengan coretan kata, tentang kekagumanmu pada bulan, kesendirianmu, rasa sepi yang membelenggumu. Tak sadarkah kau, kubaca tiap puisi yang kau tulis di meja, di remukan kertas, sampul belakang catatanmu, bahkan tisu di sakumu. tahun pertama dalam kediamanmu dan rasa maluku, aku biarkan rasa ini menyesaki dada, tetap menjadikanmu objek kekaguman yang tak teraih, bersembunyi menikmati deburan hati sendiri. Lihat betapa pecundangnya aku. Aku kaku saat menghadapmu dan mendengar bagaimana anggun sapamu. Tidak, kau tidak pernah benar-benar menyapaku. Tahukanhkau disudut ini aku memperhatikan bagaimana helai-helai rambutmu jatuh lembut dibahumu. Lihat aku, hanya memastikan bahwa kau tahu aku ada. Setelah resmi diterima disekolah ini nasib baik ternyata tak berpihak padaku, aku tidak berada dalam kelas yang sama denganmu, kelasmu berada diseberangan kelasku dengan sebuah taman kecil diantaranya,taman bunga asoka dimana biasa kau nikmati kesendirianmu. Aku tak pernah mencoba terlihat olehmu, aku hanya takut mengusikmu lantas membuatmuu menjauh dariku, meski nyatanya kau tak pernah berada dekat dengan ku. Valentine ini kucoba menarik rasa ingin tahumu dengan meletakan sebatang coklat dan kartu ucapan, aku bukan pujangga yang menggungkap rasa dalam kata.“cinta itu seperti coklat, membiarkan nya leleh atau tak tersentuh membeku” mengendap-endap kuletakan coklat dan kartu itu dalam loker milikmu. Dan hingga kini tak ada yang berbeda, masih dirimu yang sama. Hidup dalam samudera mu sendiri.apa arti pemberianku itu bagimu? Karena bukan sesuatu yang terucap sehingganya aku tak mendapat jawaban apapun. Setiap kali gejolak rasa itu datang, dengan keyakinan ku kucoba mendekat dan sentuh hatimu, lewat pandangan mata, juga getaran rasa. Tak jua kau sadari itu? Aku yang membopongmu menuju ruang UKS saat kau roboh tepat ketika aku memilih berbaris dibelakangmu, aku yang memaksa penjaga sekolah membukakan gerbang saat dikejauhan kulihat kau tergesa terlambat, aku yang memesankan makanan saat kantin ramai dan kau putus asa dalam keyakinan tak ada makanan tersisa untukmu, hal-hal kecil seperti itu benar-benar membuatku puas dan merasa berguna. Tapi aku ingin kau. Bukan aku yang menghampiri, tapi kau yang datang aku tahu hanya laki-laki pecundang yang mengharapkan hal bodoh ini.***Tahun kedua dengan gejolak yang makin nyata, rasa yang terpendam semakin dalam dan membuncah.Kuberanikan diri, melangkah melewatimu dengan kepura-puraan bahwa aku tak melihatmu. Dengan langkah pasti aku berjalan kearah mu, dan hei! Kau melirikku, dan... tersenyum?“hy..” seketika aku leleh saat sapa itu terdengar, aku hendak menjawab teguran itu sehangat mungkin namun urung saat seorang gadis berlari riang melewatiku dan berlari kearahmu sambil melambaikan tangan padamu.“mau kekantin?” ku dengar jelas ajakannya meski aku masih terpaku ditempatku. Tanpa menoleh lagi kau mengangguk dan berbalik tak memperdulikanku. Hah, bodohnya aku. Aku terlanjur senang dan rasa nya sakit sekali saat sadar tak ada alasan bagiku untuk senang. Dan senyum itu, bukan untukku.Ini kali terakhir aku menampakan diri dihadapanmu, kucoba menghindar setiap kali kulihat kau dari kejauhan. Dari sudut sini saja cukup .***. Besok ulang tahunmu, apa yang akan kulakukan atau berikan padamu? Kado? Tetap sebagai pengagum rahasia yang memberi tanpa identitas?. Tidak, kubungkus kado kecil untu
Sedang diterjemahkan, harap tunggu..